Born a Crime - Trevor Noah [SPOILER REVIEW]
Akhirnya, setelah Nelson Mandela berhasil meruntuhkan apartheid, yang terjadi selanjutnya bukanlah kemerdekaan tapi kerusuhan. Trevor menggambarkan secara detail kengerian yang terjadi di daerah tempat tinggalnya saat suku-suku di sana (yang ternyata banyak banget) berkelahi, berebut kekuasaan, saling tuduh, dan orang-orang anarkis bahkan saling bunuh. Dan anehnya, Trevor bisa menggambarkan kebrutalan yang terjadi dengan lawakan satirenya yang khas 😂😂
Di buku ini, Trevor banyak bercerita tentang ibunya yang memiliki pengaruh sangat besar pada hidupnya. Patricia Nombuyiselo Noah adalah seorang perempuan Afrika dari suku Xhosa yang sangat berbeda dengan perempuan-perempuan Afrika lainnya yang masih patriarkis. Patricia Noah sudah pergi meninggalkan keluarganya saat usianya masih belasan tahun; tinggal di daerah orang-orang kulit putih (tapi bisa dikatakan bahwa ia menyelundup karena tidak memiliki ID); dan bekerja sebagai sekertaris, sebuah pekerjaan yang termasuk "wah" karena saat itu mayoritas orang kulit hitam bekerja sebagai buruh atau pekerja kasar dan juga sebagian besar perempuan tidak bekerja.
Patricia punya keinginan untuk memiliki anak yang bisa ia cintai dan ia memutuskan untuk punya anak bersama seorang kulit putih dari Swiss. Saat itu, apartheid masih ada dan banyak undang-undang tak masuk akal yang benar-benar membedakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang kulit putih dan orang kulit hitam, salah satunya adalah punya anak. Maka dari itu Trevor menganggap dirinya adalah buah dari tindakan kriminal ibu dan ayahnya, itu juga yang jadi alasan buku ini judulnya Born a Crime 😂😂
Sebagai mixed race, Trevor diidentifikasi sebagai "colored people" dan hari-harinya ia habiskan untuk bersembunyi atau disembunyikan dari keluarganya. Ibunya gak pernah menggandeng dia di jalan, bahkan dia dititipkan ke colored people lain dan ibunya berpura-pura sebagai pembantu colored people itu. Lalu dia juga gak boleh memanggil ayahnya dengan sebutan "daddy" di depan umum, karena ayahnya bisa-bisa ditangkap. Maka dari itu, Trevor sempat kebingungan karena ia gak tau dia harus ke kubu mana. Tapi karena itu juga Trevor belajar banyak bahasa dan banyak aksen supaya bisa terhubung dengan banyak orang.
Nelson Mandela once said, “If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his language, that goes to his heart.” He was so right. When you make the effort to speak someone else’s language, even if it’s just basic phrases here and there, you are saying to them, “I understand that you have a culture and identity that exists beyond me. I see you as a human being.”
Tapi para colored people pun menganggap diri mereka berbeda dengan orang kulit hitam dan banyak orang kulit putih yang menganggap mereka "almost white". Colored people bisa mendaftarkan diri mereka sebagai orang kulit putih kalau mereka memenuhi kriteria sebagai orang yang "cukup putih". Banyak komentar-komentar seperti, "bergaulah dengan orang kulit putih, menikahlah dengan orang kulit putih, nanti lama-lama kamu 'putih' beneran" yang bikin aku sontak memutar bola mata. Sungguh ya rasisme di sana sudah benar-benar mendarah daging. Padahal kan colored people itu setengah hidupnya berasal dari orang kulit hitam juga tapi mereka seolah-olah menganggap bahwa orang tua atau nenek kakek mereka yang berkulit hitamlah yang menodai darah mereka. Hadeuh..
Karena buku ini aku juga jadi mengulik lebih jauh tentang Apartheid dan menurutku sistem rasial (di mana pun itu) adalah suatu sistem yang paling gak masuk akal, karena yah apa sih kok membenci orang sampai segitunya hanya gara-gara ras, suku, atau warna kulitnya beda, yang ironisnya dilanggengkan selama bertahun-tahun. Dan sejarah-sejarah yang paling kelam pun banyak yang disebabkan oleh sistem yang gak masuk akal ini. Sejarah yang punya dokumentasi paling rapi adalah Holocaust yang memberangus orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II. Menurut Trevor, Apartheid gak kalah kejam dan gak kalah mengerikan dari Holocaust, bedanya Holocaust ada datanya sementara Apartheid gak ada.
Dan ada satu cerita yang lucu juga tentang ini. Karena orang kulit hitam di Afrika gak dikasih pendidikan yang layak, mereka gak tau sejarah dunia termasuk sejarah Holocaust. Waktu Trevor nge-DJ ada temannya yang jago ngedance dan temannya itu namanya Hitler. Suatu ketika mereka pentas di Jewish School gitu trus pas temannya mulai ngedance, Trevor dan teman-temannya yang lain pada teriak, "GO HITLER.. GO HITLER.." Kebayang gak tuh muka orang-orang di Jewish Schoolnya kayak gimana 😂😂 Akhirnya mereka ribut sama pihak sekolahnya, saling ngotot tapi miskom. Yang satu merasa terhina karena disangkanya Trevor dkk mengolok-olok sejarah Holocaust, sementara Trevor dkk yang sama sekali gak tau sejarah Holocaust merasa terhina karena mereka pikir pihak sekolah gak menghargai tariannya Hitler. Sungguh miskom yang bikin ngakak 😂😂
Hal yang paling menyayat hati adalah ketika Trevor bercerita kalau
ibunya memutuskan menikah dengan Abel, yang ternyata sangat abusive.
Dari pernikahan itu, Trevor memiliki 2 adik tiri. Setelah
bertahun-tahun, kekerasan yang dilakukan Abel semakin parah, tapi berapa
kali pun ibunya melapor pada polisi, polisi selalu tutup mata dan
menganggap hal itu hanya masalah rumah tangga biasa. Terlebih lagi, para
polisi itu laki-laki patriarki yang malah menganggap ibunya Trevor yang
berulah maka suaminya mukulin dia. Duh.. Puncaknya adalah ketika Abel
menembak ibunya di kepala. Di bagian ini terasa sekali pedih dan hancurnya Trevor karena hal yang paling ia takutkan terjadi ðŸ˜ðŸ˜ Dan yang saat ia menceritakan adiknya, Andrew, yang menangis putuh asa, karena ibu yang sangat ia sayangi ditembak oleh ayah yang juga sangat ia sayangi, rasanya hatiku pun ikut tercabik-cabik ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ Ibunya secara ajaib bisa selamat tapi
Abel sama sekali tidak dipenjara dengan alasan ia perlu menafkai
anak-anaknya, padahal selama ini istrinya yang menafkahi mereka. Buset
dah..
Aku suka sekali dengan cara Trevor bercerita. Apik, penuh emosi, memuat sindiran di sana sini, tapi juga penuh dengan lawakan. Maka dari awal baca tuh aku bingung sebenarnya harus merasa kasihan, sedih, nelangsa, atau harus ketawa 😂😂 Kalau aku ketawa pun aku ngerasa bersalah karena aku ketawa di atas penderitaan orang lain 😂😂 Bagian yang aku suka adalah bagian-bagian saat Trevor bercerita tentang ibunya. Ibunya yang sangat religius, ibunya yang tidak kenal takut karena ia percaya Tuhan Yesus selalu bantu, ibunya yang punya pemikiran yang sangat modern, ibunya yang selalu ingin berkembang menjadi lebih baik.
“Learn from your past and be better because of your past, but don’t cry about your past. Life is full of pain. Let the pain sharpen you, but don’t hold on to it. Don’t be bitter." - Patricia Noah
Ibunya yang ingin Trevor menjadi orang yang bisa mengetahui bahwa ada dunia yang lebih luas daripada kota tempat tinggalnya di luar sana. Ibunya ingin Trevor bisa mandiri dan hidup untuk dirinya sendiri. Ibunya tidak mau Trevor terjerat dalam kemiskinan keluarga seperti keluarga-keluarga Afrika pada umumnya yang mengharuskan orang yang paling berpenghasilan membayar semua keperluan keluarga (disebut juga sebagai Black Tax).
My mom raised me as if
there were no limitations on where I could go or what I could do. When I
look back I realize she raised me like a white kid—not white
culturally, but in the sense of believing that the world was my oyster,
that I should speak up for myself, that my ideas and thoughts and
decisions mattered.
Aku gak bermaksud untuk bersikap stereotip tapi sejauh ini aku jarang sekali melihat anak laki-laki yang menyuarakan betapa dia mencintai ibunya. Trevor adalah salah satu laki-laki yang sekali jarang ku "temui" itu. Di bukunya, Trevor menuliskan secara gamblang bahwa ia sangat mencintai ibunya dan juga menaruh respek pada ibunya baik sebagai orang tua ataupun sebagai perempuan.
Born a Crime adalah salah satu buku yang kurasa wajib dibaca oleh orang-orang minimal sekali seumur hidup.
Comments
Post a Comment