How I(ntrovert) Recharge My Battery
Lala Bohang, penulis buku Waking Up For The First Time, pernah menganalogikan bahwa setiap orang memiliki 5 botol "baterai". Untuk orang-orang ekstrovert, setiap hari mereka punya 5 botol yang kosong yang terisi saat mereka bertemu dengan orang lain. Sementara orang-orang introvert, punya 5 botol yang terisi penuh tapi akan habis perlahan-lahan ketika mereka bertemu dengan orang lain. Saat itu aku mengangguk setuju dengan analoginya itu. Memang perbedaan introvert dan ekstrovert terletak dengan cara masing-masing mengisi "baterai". Untukku yang seorang introvert tulen, jelas aku merasa "baterai"ku terisi penuh saat aku sendirian. Seorang temanku di instagram pernah bilang, "Mei tuh untuk ukuran introvert masih termasuk yang suka jalan-jalan, ya." Iya betul, aku suka jalan-jalan. Tapi jalan-jalan sendirian, ngopi sendirian, makan sendirian, ke toko buku sendirian, motret sendirian, nonton film sendirian, nonton orkestra sendirian, nonton pertunjukan Broadway sendirian, pergi ke konser sendirian. Tapi rasanya, aku terlalu asik sendirian sampai aku percaya kalau aku benar-benar sendirian.
Dulu aku pernah berkata kalau aku optimis bisa hidup sendiri seterusnya. Tapi ternyata aku terlalu percaya diri. Dan akhirnya rasa sepi yang tak terelakan datang, menerobos pertahananku tanpa permisi, dan menetap di sana seenaknya sendiri. Kemudian, di lain hari aku berkata kalau aku pasti akan terbiasa dengan rasa sepi itu. Tapi ternyata aku malah jatuh ke dalam lubang kehampaan yang begitu pekat sampai aku merasa membuka ataupun menutup mata tak akan ada bedanya. Dan di dalam kehampaan itu aku malah semakin menarik diri dari orang-orang di sekitarku. Aku tetap ngotot bergelung di dalam "gua"ku sendiri. Kenapa, ya?
Aku adalah orang yang bisa dengan mudah peka dengan apa yang orang lain rasakan, ironisnya aku sulit untuk "membedah" rasaku sendiri. Aku bertanya dan terus bertanya "kenapa?" Kesimpulan yang ku dapat setelah berusaha menggali diriku sejauh yang aku bisa: aku amat sangat takut dengan perpisahan. Entah kejadian apa pastinya yang membuatku sebegitu takutnya, yang jelas ketakutan itu membuatku enggan melangkah keluar dari "gua"ku. Aku merasa aman sendirian di "gua"ku karena kalau aku sendirian aku tak akan pernah merasakan kehilangan lagi. Pemikiran itu malah membuat kehampaanku semakin menjadi-jadi dan membuatku meratap semakin sering.
Mungkin benar kalau menyendiri itu bisa membuatku mengisi "baterai" tapi di lain kesempatan pun bisa membuat "baterai"ku habis tak bersisa.
Lalu aku harus apa? Di tengah kebingunganku, aku akhirnya mulai memiliki keinginan untuk berjalan ke mulut "gua" dan melihat ke kiri kanan. Ternyata apa yang ku lihat jauh dari perkiraanku. Di luar sana ternyata ada orang-orang yang menantiku keluar dari "gua". Orang-orang yang selalu menyediakan "ruang" untukku berkeluh kesah, orang-orang yang selalu siap mendengar kapan pun aku bercerita, orang-orang membuat hidupku jadi terasa lebih mudah karena diisi dengan canda tawa, orang-orang yang selalu dan selalu menyediakan tempat untukku "pulang". Orang-orang itulah yang malah mengisi "baterai"ku di masa-masa aku paling butuh.
Dan baru kusadari bahwa selama ini aku terlalu asik mengasingkan diri dalam kehampaan yang dingin sampai aku lupa bahwa aku bisa mendekat dan mendapat kehangatan yang melegakan dalam hidup dari orang-orang yang bersedia "hadir" untukku. Selama ini aku terlalu asik bergelung dalam ketakutanku sendiri sampai aku lupa bahwa aku hanya perlu mengulurkan tangan dan mereka akan dengan senang hati menyambut. Selama ini aku begitu meyakini bahwa aku selalu sendirian, padahal tidak begitu. Aku tidak sendirian dan tidak pernah sendirian.
"I always thought I was alone. But.. there was never a time when I was alone. I thought my life was pretty dull. But, actually I've always had pretty good moments. The only person who made my life pathetic was just me." - Kook Yeonsu, Our Beloved Summer
p.s. tulisan ini ku buat sebagai pengingat jika lain kali aku kembali merasa hampa, ada mereka di luar sana.
Comments
Post a Comment