Tentang Keputusan Terbaik yang Kuambil Tahun Ini
Tahun ini menjadi tahun keduaku untuk menjalani 365 hari tanpa resolusi apa pun. Iya, selama pandemi aku puasa bikin resolusi yang menjadi agendaku setiap awal tahun, walau jarang sekali ada resolusiku yang ter-checklist tapi aku suka membuat rencana dan membayangkan rencana itu ku eksekusi dengan menggebu-gebu. Selama pandemi aku berusaha untuk "sekadar" bertahan hidup. Ada fase dimana semua yang serba cepat dipaksa melambat sejenak namun pada akhirnya kembali terasa cepat dengan format baru yang sebelumnya belum pernah ada, WFH salah satunya yang mengaburkan batas antara kehidupan profesional dan kehidupan pribadi. Lalu ruang gerak pun jadi terbatas. Oke, aku memang introvert yang menyandang gelar "anak rumahan" tapi bukan berarti gak bisa ke mana-mana membuatku senang juga, yang ada aku merasa terkurung dan "sumpek", kurasa para introvert di luar sana pun pasti merasakan hal yang sama. Karena itu kondisi mentalku pun naik turun selama hampir 2 tahun ini, jadi yah bye bye resolusi, aku mau menjalani hidup minim ekspektasi aja.
Tapi, ternyata gak bikin aku uring-uringan juga, loh! Malah ada hal-hal yang akhirnya ku putuskan tanpa rencana dan tujuan neko-neko, yang kulakukan hanya karena aku suka dan kurasa bisa membantuku untuk bernapas dengan lebih baik. Apakah itu? Bikin aku bookstagram!
Sebelum tahun 2020 adalah masa di mana aku menjauhkan diri dari buku karena aku sibuk bersosialisasi (sebanyak yang jiwa introvertku bisa toleransi). Tahun 2018 aku hanya membaca 11 buku setahun dan tahun 2019 lebih parah hanya 6 buku setahun. Bagi orang-orang yang memang gak hobi membaca, mungkin 6 buku setahun itu sudah sebuah pencapaian banget, tapi bagiku tahun-tahun itu adalah tahun-tahun kehilangan. Aku sampai bertanya-tanya, "ke mana aku yang dulu yang ke mana-mana selalu bawa buku?", "ke mana aku yang dulu yang gak pernah absen meminjam buku di perpustakaan setiap minggu?" Mungkin para bookworm di luar sana bisa paham rasa "kehilangan" yang ku maksud. Maka di tahun 2020 aku kembali berusaha mendekatkan diri pada buku dan berusaha membangkitkan kembali kecintaanku pada membaca. Lalu kemudian ada pandemi dan buku menjadi satu-satunya penyelamatku dari perasaan asing yang muncul akibat perubahan mendadak itu. Selama tahun 2020, buku juga membuatku bisa menenangkan diri dari segala stress yang mendera, mengisi rasa kosong yang timbul karena kesepian, dan tentu saja berhasil membuatku gak merasa sendirian.
Aku menyelesaikan reading challenge ku tahun 2020 dengan menamatkan 20 buku, sesuai dengan reading challenge yang ku set di goodreads waktu awal tahun. "Permulaan yang bagus", pikirku saat itu. Maka saat memasuki 2021, aku melipatgandakan goalku menjadi 40 buku dalam setahun. Dan untuk itu aku tentu butuh motivasi lebih. Aku mulai rajin mengikuti akun-akun buku di bookstagram dan akhirnya tanggal 10 Januari 2021 aku memutuskan untuk membuat akun bookstagram sendiri (akhirnya, akun instagramku yang sebelumnya aku hapus karena sudah gak kuurus lagi). Saat itu kupikir aku bisa lebih semangat baca buku kalau aku mendekatkan diri dengan pembaca lain juga, walau lewat dunia virtual. Sesederhana itu memang alasanku bikin akun instagram. Tapi ternyata kesederhanaan itu malah membawaku menemukan banyak hal baru yang tidak kusangka-sangka.
Dari hanya bikin akun bookstagram, aku dapat banyak informasi tentang diskusi buku yang akhirnya sering kuikuti, aku dapat banyak ratjun buku yang akhirnya membuatku mendiversifikasi bacaan, aku jadi dapat banyak informasi tentang dunia literasi dan isu-isu sosial yang terjadi, dan yang paling paling aku syukuri adalah aku dapat banyak teman baru yang bisa diajak untuk ngomongin buku!
Seumur-umur aku suka baca buku dan bawa buku ke mana-mana, jarang banget ada orang yang bisa ku ajak ngobrolin buku apalagi ngobrolin isu-isu terkait dengan dunia perbukuan. Orang-orang di sekitarku gak banyak yang suka baca buku, sekalipun ada gak pernah ngomongin buku sampai ke akar-akarnya. Percakapan tentang buku seringkali hanya berupa, "bukunya bagus, ya". Hmm oke baik.. Aku tahu bukunya bagus tapi bagusnya dalam hal apa? Aku masih mau ngomongin alur ceritanya, aku masih mau ngomongin tokoh-tokohnya, aku masih mau ngomongin kenapa tokohnya melakukan A B C, aku masih mau ngomongin alasan penulisnya menulis topik itu dalam bukunya, dll, dll yang kurasa gak akan habis-habis kalau aku omongin. Tapi komentar, "bukunya bagus, ya" yang dilontarkan tanpa antusiasme membuatku enggan membicarakan buku tersebut lebih jauh. Aku gak mau heboh sendiri karena takut membuat orang lain risih.
Untungnya, perasaan seperti itu gak ku temukan di dunia virtual sejak ku bergabung ke dalam "komunitas" bookstagram. Aku cukup membagikan impresiku tentang sebuah buku di instastory atau di post, maka pasti ada saja orang yang ngasih komentar atau kirim dm dan ngasih tau kesan mereka tentang buku yang aku bagikan itu. Entah mereka sudah baca buku itu atau tertarik untuk baca juga, yang jelas percakapan selanjutnya mengalir begitu saja. Aku dapat banyak teman yang akhirnya rutin berkirim pesan denganku lewat dm karena permulaan itu. Dari satu dm, kami bisa membicarakan tentang buku itu selama berhari-hari, tentu saja tanpa melewati proses basa basi baso (yang amat sangat ku benci) dan seringkali tanpa memperkenalkan diri juga. Dan sering terjadi, setelah ngobrol panjang berhari-hari, salah satu dari kami baru ingat bahwa kami belum tau nama panggilan masing-masing. Sungguh kegiatan bersosialisasi yang menyenangkan 😆🤣
Dan kalau ngomongin soal bersosialisasi, sejak aku membuat akun bookstagram pun kurasakan aku jadi lebih mudah bersosialisasi dengan orang lain. Lewat hal-hal yang sudah kuceritakan tadi dan juga lewat diskusi dan acara buku yang aku ikuti. Beberapa waktu lalu, aku bahkan ikut menjadi volunteer dalam penulisan modul membaca kritis! Dari akun bookstagram yang dibuat hanya agar aku lebih rajin baca buku, aku malah jadi tergerak melakukan hal-hal yang rasanya sulit sekali kulakukan di dunia nyata. Dan lagi, aku merasakan rasa ingin tahu dan antusiasmeku semakin membuncah ruah.
Di hadapan buku, aku semakin sadar bahwa aku ini bukan apa-apa, aku bukan siapa-siapa, karena masih ada banyak hal di luar sana yang belum ku ketahui, belum ku temui, belum ku pahami. Lewat percakapan di dm, lewat diskusi dan acara buku, dan lewat kegiatan volunteer yang aku ikuti, aku jadi memiliki pemahaman lebih tentang banyak topik yang diangkat dalam buku dan juga tentang isu yang selama ini masih menjadi PR besar negara ini.
Dalam bukunya Haruki Murakami, Norwegian Wood, ada salah satu tokoh yang berkata, "Jika kamu hanya membaca buku yang dibaca kebanyakan orang, kamu hanya dapat berpikir seperti apa yang dipikirkan kebanyakan orang" dan aku tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat itu. Karena yang kurasakan adalah buku itu "luas" sekali. Sebuah buku yang didiskusikan oleh 20-30 orang saja bisa menghasilkan banyak perspektif baru yang sebelumnya tidak terpikirkan olehku. Buku yang sama pun akan terasa berbeda jika direview oleh orang yang berbeda karena bisa jadi dua orang itu menyoroti hal yang berbeda. Selengkap apa pun review buku yang ku buat, pasti ada beberapa hal saja yang ku tonjolkan sesuai dengan apa yang ku pahami dan ku sukai dari buku itu dan bisa jadi pendapatku berbeda dengan orang lain. Jadi, membaca buku yang banyak dibaca banyak orang bukan berarti kita pasti mencetak perpektif yang sama dengan banyak orang.
Tentu ada banyak juga buku-buku yang hype tapi menurutku overrated, ada juga buku-buku yang jarang disinggung orang tapi ternyata bagus sekali isinya. Maka dari itu, aku memanfaatkan rasa ingin tahu dan antusiasme yang ku punya untuk mencari "second opinion", entah dengan mencari sumber-sumber lain di internet (banyak buku fiksi yang mencantumkan daftar referensi) atau membaca buku dari penulis lain yang membicarakan hal serupa. Dan dari sini, secara tidak sadar aku membangun kebiasaan berpikir kritis. Aku belajar untuk menelaah suatu topik dengan lebih teliti, aku belajar untuk menjadi skeptis dengan cara yang sehat, aku juga menajamkan sense-ku dalam membaca jadi jika ada hal yang membuatku ragu aku pasti akan langsung tanya ke google dan mencari sumber-sumber yang lebih valid (wikipedia misalnya).
Lihat, kan.. Dari cuma bikin akun bookstagram saja bisa bikin aku mendulang banyak hal baru. Kayak mind-blowing banget gitu kalau mau ditilik setahun ke belakang ini. Dan rasanya aku bisa mengibaratkan kalau bikin akun bookstagram itu seperti menanam pohon. Dari satu bibit muncul tunas, lalu batang yang kokoh, yang kemudian bercabang-cabang dan berdaun lebat, dan jika sudah saatnya maka akan muncul buah yang manis. Aah~ jadi makin semangat buat terus aktif di akun bookstagramku, karena aku seperti bergabung ke dalam bagian para penggerak literasi walau andilku hanya sekadar memberi ratjun bacaan-bacaan yang aku suka.
Oiya, sejauh ini aku nyemplung di "komunitas" bookstagram, aku merasa bahwa "komunitas" ini tuh komunitas yang paling santuy gitu, yang paling minim masalah, dan kalau pun ada masalah gak sampai ribut yang gimana-gimana karena semua bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat (sungguh teladan dari Pancasila sila ke-4 wkwkwk). Aku rasa orang-orang dalam "komunitas" ini tuh rasa toleransinya cukup tinggi dan sudah paham bahwa setiap orang punya selera dan gaya membaca yang berbeda-beda, jadi gak dikit-dikit ribut kayak netijen di jagad maya. Oh, aku juga merasa kalau semua orang yang ada di "komunitas" ini tuh bergerak ke satu tujuan yaitu meneruskan kebiasaan membaca kepada orang lain. Kalau aku dapat komentar, "Setelah membaca reviewmu, aku jadi kepingin baca buku ini juga" itu tuh rasanya aku sudah berjalan di jalan yang benar gitu 🤣🤣
Aaah pokoknya aku suka deh "profesi" baruku sekarang 😆💜
Gw sendiri introvert tapi gw seneng Mei dengan kebijakan WFH wkwkwkw Kalo bisa WFH terus aja malah 🤣 Tapi karena pandemi ini, ya ga enaknya jadi ga bisa jalan-jalan dengan bebas huhuhu Padahal kan banyak destinasi-destinasi wisata yang pengen dituju huhuhu
ReplyDeleteMantul. Rasanya senang memangnya kalo bisa masuk dalam komunitas yang membangun ya... Gw sendiri bukan orang yang suka baca buku. Padahal dulu pas kecil paling rajin bolak balik perpus buat pinjem buku. Malah kartu perpusnya sampe ganti baru saking uda penuhnya karena keseringan pinjem buku.. Wk Beda sama sekarang. Boro-boro setahun baca 6 buku. Selesai 1 buku aja syukur wkwkw. Hmm Kalo dipikir-pikir taon kemaren gw cuma selesai 3 buku doang wkwkwkw Kebanyakan waktu senggang gw diisi maen game sih emang.. 🙈
Enak memang gak ketemu banyak orang kalau WFH wkwkwk
DeleteMungkin pika cara buat merefresh dirinya lebih cocok dengan main game, ya. Tp semoga bisa sempet baca buku lebih banyak lagi ya, pik wkwkwk