Ferris Wheel at Night - Minato Kanae [Book Review]
Ferris Wheel at Night ini adalah buku ketiga dari penulis Minato Kanae yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Haru. Nah, kemarin ini aku ikutan PO buku ini karena kalau PO bisa ikutan acara Festival Buku Asia yang menghadirkan Minato Kanae sebagai bintang tamunya. Jadi kayak beli tiket gitu lah. Dan kebetulan bukunya sampai 3 hari sebelum acaranya berlangsung, jadi aku bisa langsung baca dan kembali mengabaikan tatapan meringis dari tumpukan tbr ku wkwkwk
Cakep banget gak sih covernya π₯Ίπ₯Ί |
Ferris Wheel at Night ini bercerita tentang kehidupan bertetangga di Bukit Hibari, salah satu perumahan elite yang letaknya di atas bukit. Yang membuatku tertarik untuk membaca buku ini (selain penulisnya Minato Kanae tentu aja) adalah karena premis ceritanya yang menarik. Sinopsis di belakang bukunya ditulis, "Seorang kepala keluarga di sebuah perumahan elite mati terbunuh dan sang istri menyerahkan diri ke polisi. Lalu, dengan ayah sebagai korban dan ibu sebagai tersangka, bagaimana mendefinisikan anak-anak mereka; anak korban pembunuhan atau anak pembunuh? Apa peran para tetangga setelah kasus terjadi? Lalu, yang terpenting, mengapa ada insiden seperti ini?" Menarik bukan? Menyoroti kisah keluarga di perumahan elite dan juga para tetangganya. Aku membayangkan kalau kehidupan bertetangga di Jepang rasanya akan cukup mirip dengan di Indonesia mengingat sama-sama masih Asia. Dan yah benar aja..
Cerita dibuka dari keluarga Endo yang terdiri dari sang ibu, Mayu; sang ayah, Keisuke; dan anak perempuannya, Ayaka. Dibandingkan dengan keluarga-keluarga lain yang muncul, keluarga Endo bisa dibilang sebagai keluarga yang paling memprihatinkan. Mereka adalah keluarga yang belum lama pindah ke perumahan elite itu. Rumahnya paling kecil dan paling sering terdengar keributan karena Ayaka sering tantrum. Kalau terdengar terjadi kasus pembunuhan di perumahan elite itu, ku rasa banyak orang tidak akan heran kalau kasus itu terjadi di rumah keluarga Endo. Sayangnya, kasus nahas tersebut terjadi di seberang rumah kecil itu. Rumah yang didiami oleh keluarga Takahashi yang justru tampak baik-baik aja. Sang kepala keluarga, Hiroyuki, adalah seorang dokter; istrinya, Junko, adalah seorang wanita yang cantik; anak tertua laki-laki tertua, Yoshiyuki, sedang kuliah di fakultas kedokteran; anak perempuannya, Hinako, bersekolah di SMA swasta elite khusus perempuan; dan anak laki-laki terakhirnya, Shinji, bersekolah di SMP swasta elite khusus laki-laki.
Kejadian nahas itu dimulai saat terjadi teriakan dari rumah yang selama ini tampak tenang itu. Suara teriakan itu adalah suara Junko dan anaknya Shinji. Tapi, keributan itu tak bertahan lama karena ternyata ada ayahnya yang menghentikan itu. Tapi, tak berapa lama kemudian sang ayah malah tewas terbunuh dan anaknya Shinji menghilang. Tentu saja kasus itu membuat geger warga sekitar, terutama keluarga Endo yang rumahnya persis di depan rumah Takahashi dan keluarga Kojima yang rumahnya pun terletak di dekat situ.
Hmm kalau kalian mengira akan disuguhi penyelidikan kasusnya dari sudut pandang polisi, maka kalian salah besar. Kita malah akan ikut membedah kasusnya dari sudut pandang tetangga. Iya, tetangga. Akan ada spekulasi-spekulasi tak berdasar dan kebencian yang juga tak berdasar yang ditujukan kepada keluarga Takahashi. Ada yang takut dikait-kaitkan, ada yang kepo banget, ada yang sampai melempar batu dan menulis ujaran kebencian di pagar rumah itu. Tapi, saat terjadi kasus itu, mereka semua diam aja.
Buat yang belum baca bukunya, silahkan berhenti baca tulisanku sampai sini aja, ya. Kecuali kalau kalian gak masalah dengan spoiler. Hehe
Sebelumnya aku pernah baca bukunya Minato Kanae yang berjudul Penance dan jika kubandingkan Ferris Wheel at Night dengan Penance, Ferris Wheel ini terkesan ringan. Ceritanya tidak sekompleks di Penance, tokoh-tokohnya pun gak se"sakit" Penance. Tapi, setelah ku pikir lagi justru itulah yang bikin cerita dalam buku ini terasa dekat. Kehidupan bertetangga jelas adalah kehidupan yang bersinggungan dengan sebagian besar dari kita. Dan kalau kalian sudah baca pasti ngerasa pernah nemuin orang yang kadang pura-pura sungkan, pura-pura suka memuji padahal mau dipuji balik, pura-pura kondisi rumahnya baik-baik aja kayak Mayu. Atau ketemu dengan ibu-ibu kepo yang cerewet dan suka banget ikut campur urusan orang kayak Satoko. Dan selain itu, topik keluarga yang diangkat pun bikin aku mikir. Keluarga yang bahagia itu sebenarnya yang gimana, sih? Maksudku kayak keluarga Takahashi tuh kelihatannya adem ayem aja. Keluarganya mapan, anak-anaknya pintar, gak pernah ada gosip-gosip miring. Tapi, ternyata di balik ketenangan yang nampak itu ada sosok ibu yang terus-terusan menekan anaknya untuk berprestasi padahal anaknya lebih suka berolahraga, ada juga suami istri yang berbeda pendapat dalam membesarkan anak. Yang nampak harmonis dan bahagia belum tentu benar-benar harmonis dan bahagia. Familiar sekali bukan dengan kisah keluarga seperti itu?
Suasana yang dibangun dari awal udah bikin aku penasaran, apalagi begitu diceritakan bahwa warga yang tinggal di Bukit Hibari cenderung menganggap rendah warga yang tinggal di pesisir. Lalu, aku juga menangkap ada perasaan "tempatku harusnya bukan di sini" yang menguar dari keluarga Endo. Kayak mereka tuh maksa gitu buat membangun rumah di Bukit Hibari. Ibunya berpikir kalau lingkungan di sana bagus buat pertumbuhan Ayaka lalu ada sekolah swasta juga yang dekat dengan perumahan itu. Sayangnya, Ayaka gak lolos ujian masuk sekolah itu dan akhirnya rasa percaya dirinya turun. Lalu, biaya untuk tinggal di Bukit Hibari pun berat maka Mayu harus bekerja sambilan di mini market tapi dia gak mau ketahuan tetangganya kalau dia bekerja sambilan. Jadi ribet ya bun karena kepingin tinggal di perumahan elite..
Tapi ya, walau menurutku topiknya menarik dan bisa relate dengan kita tapi aku merasa eksekusinya kurang. Alur cerita yang dibangun dari awal cukup bagus dan aku menantikan ada plot twist di tengah-tengah atau di akhir. Tapi ternyata tidak ada, padahal aku udah mempersiapkan hati. Tokoh-tokohnya pun menyebalkan sekali tapi lama-lama rasa sebalku berkurang dan berganti dengan kebingungan. Terutama Ayaka, ya. Aku bingung harus berkomentar apa sama anak itu. Awal-awal aku iba karena aku berpikir walau dia tantrum dan kurang ajar begitu pasti ada pemicunya yang bikin dia jadi begitu. Ada sih penjelasannya, tapi entah kenapa aku kurang puas. Dan lagi, di akhir-akhir saat ia hampir dibunuh oleh ibunya sendiri rasanya aneh gitu. Awal-awal dia ketakutan setengah mati, tapi gak berapa lama kemudian udah nimbrung di ruang tamu, gak lama nimbrung lagi untuk ngomongin kasus keluarga Takahashi dan di momen itu dia jadi terasa bijak. Gimana, sih ππ
Terus, aku pikir akan terjadi kasus pembunuhan kedua yang dilakukan Mayu, tapi ternyata bisa dihentikan oleh Satoko yang tukang ikut campur walau dia menghentikan mereka sebenarnya bukan karena dia perhatian dengan keluarga Endo melainkan karena dia gak mau ada kasus lain yang mencoreng nama Bukit Hibari π€¨π€¨ Tapi, ya dari kejadian itu pun akhirnya gitu aja, gak ada penyelesaian yang gimana gitu. Gak lama mereka ikutan nimbrung ngomongin keluarga Takahashi dan habis itu pulang ke rumah masing-masing kayak sebelumnya Mayu cuma ngomelin Ayaka doang bukan hampir membunuh. Hmm apakah dari acara "nimbrung ngomongin keluarga Takahashi" itu mereka dapat pencerahan lalu insyaf, ya? π π
Dan yang paling penting.. lagi-lagi tidak ada penyelesaian dari kasusnya. Kalau pas baca Panance aku dibuat penasaran karena gak dikasih tau pelakunya ditangkapnya gimana, kalau di Ferris Wheel at Night malah muncul artikel yang mengatakan bahwa ayahnya yang memicu keributan dan ibunya terpaksa membunuh untuk melindungi anaknya. Lah, bukannya ibunya yang "sakit", ya? Kalau dapat keringanan hukuman dan bebas nanti nasib anaknya ditekan gimana lagi ππ Tapi, ada temanku yang bilang bahwa karena tujuan ibunya menekan anaknya karena ia bersitegang dengan istri pertama suaminya (yang sebenarnya udah meninggal juga), jadi kayak mau membuktikan gitu kalau Shinji lebih unggul daripada Yoshiyuki, maka karena ayahnya udah meninggal ya mau membuktikan ke siapa lagi. Tapi, menurutku itu aja udah jadi bukti kalau ibunya tuh "sakit". Orang istri pertama suaminya udah meninggal kok dia masih takut tersaingi. Eh, apa rasanya jadi istri kedua memang begitu, ya? π€π€
Lalu, aku juga mikir kalau artikel yang membolak balik fakta itu ditujukan untuk ngasih tau kalau di dunia nyata pun begitu. Yang muncul tuh artikel yang memuat berita gak valid tapi mereka meyakinkan masyarakat kalau beritanya paling benar dan masyarakat percaya π♀️π♀️ Gini, nih.. after taste nya baca buku iyamisu tuh pasti pikiranku bercabang ke mana-mana sambil mikirin berbagai macam kemungkinan disertai dengan perasaan yang gak enak.. ah sebel ππ
Oiya, satu lagi. Ada temanku yang merasa kurang puas dengan terjemahannya. Aku curiga karena ada istilah yang terasa Indonesia sekali, yaitu panggilan yang digunakan Ayaka untuk Satoko. "Emak Glitter" π π Aku pun sempat mengernyitkan kening saat istilah itu pertama muncul. Awalnya terasa aneh, tapi ku rasa "Emak Glitter" itu cukup cocok disematkan pada Satoko yang memangnya cerewet dan kepo banget macam emak-emak ππ Mungkin kata "Emak" itu digunakan supaya image emak-emak menyebalkan langsung bisa terbayang di benak pembaca, ya. Mungkin.. Aku malah merasa terganggunya dengan alur cerita maju mundur yang terasa tumpang tindih. Di beberapa bagian dituliskan penanda waktu yang cukup membantu untuk membedakan adegan satu dengan adegan lain. Tapi, banyak yang tidaj ada keterangan waktunya. Jadi lagi ngomongin apa, tau-tau ada flashback, tau-tau kembali ke masa kini. Aku sempat dibuat bingung sampai harus kembali membuka lembar-lembar sebelumnya.
Tapi, kalau kalian baru mau berkenalan dengan buku-buku bergenre iyamisu atau psychological thriller, kalian bisa membaca Ferris Wheel at Night ini karena ceritanya tergolong ringan dan mulus-mulus aja kalau dibandingkan dengan genre iyamisu atau psychological thriller lain.
Btw, aku belum terlalu paham juga kenapa bukunya Ferris Wheel at Night. Setelah mendengarkan obrolan tentang buku ini dari penerjemahnya, aku paham dengan analogi bianglala yang katanya akan dibangun di kota itu dan akan menjadi bianglala terbesar di Jepang. Katanya bianglala itu seolah (akan) menjadi titik tengah yang bisa sama-sama memandang rendah Bukit Hibari dan daerah pesisir. Jadi, ya kayak ngasih tau buat apa tinggi hati dan ngerasa sok karena tinggal di perumahan elite, toh kalau dipandang dari atas sama aja terlihat kecil. Tapi aku masih bertanya-tanya dengan judul "at Night" nya. Atau apakah sebenarnya hanya untuk pemanis aja, ya? Nanti aku cari tau lebih lanjut deh karena bulan depan buku ini akan menjadi buku yang dibaca bareng sofa literasi untuk kemudian didiskusikan. Aku curi start baca 1 bulan dimuka gak apa-apa lah, ya ππ
P.S: Untuk review buku lainnya bisa kalian baca di sini.
Comments
Post a Comment