Dear Evan Hansen - Val Emich
Beberapa tahun yang lalu, aku gak sengaja mendengar lagu You Will be Found yang dinyanyikan oleh Malinda di Sportify. Lirik lagunya bagus sekali dan terasa memberi harapan. Kemudian aku tau bahwa lagu itu adalah lagu dari OST Dear Evan Hansen, sebuah pertunjukkan Broadway yang memenangkan Tony Award tahun 2017. Lagu You Will Be Found membawaku mendengar lagu-lagu Dear Evan Hansen yang lain yang kemudian membuatku ingin sekali menonton pertunjukkan Broadwaynya suatu hari nanti. Lalu, pada tahun 2018 pertunjukkan Dear Evan Hansen diadaptasi menjadi buku. Sungguh aku langsung girang setengah mati setelah melihat bahwa Gramedia sudah menerjemahkan dan menerbitkan buku ini bulan Februari lalu. Memangnya apa sih istimewanya buku ini sampai bikin aku girang setengah mati?
Buku ini bercerita tentang Evan Hansen, nama aslinya adalah Mark Evan Hansen yang kalau inisialnya disingkat menjadi MEH. meh! Konotasinya jelek memang, maka Evan gak suka kalau dipanggil Mark. Evan adalah seorang remaja yang memiliki gangguan kecemasan. Psikiaternya, Dr. Sherman, memberinya tugas untuk menuliskan surat kepada dirinya sendiri yang diawali dengan kalimat, "Dear Evan Hansen". Tapi, surat yang menjadi PR nya itu malah berubah menjadi malapetaka baginya ketika dibaca oleh Connor Murphy, yang memiliki predikat buruk di sekolahnya. Evan cemas sekali ketika Connor enggan mengembalikan surat itu, ia takut Connor menyebarkan surat itu dan satu sekolah akan tau betapa menyedihkannya Evan Hansen itu. Kecemasan Evan tidak terbukti, karena Connor tidak berbuat apa-apa pada surat itu. Tapi, malapetaka lain muncul di hadapan Evan tanpa aba-aba, membuatnya tak sengaja menjerumuskan diri ke dalam kebohongan yang semakin lama semakin besar.
Sejujurnya, aku memiliki ekspektasi tinggi terhadap buku ini. Selama bertahun-tahun aku mendengarkan semua lagu-lagu Broadwaynya aku membayangkan bahwa pertunjukkan Broadwaynya itu keren dan menyentuh hati. Aku bisa merasakan adanya secercah harapan dalam lagu You Will Be Found (yang menjadi favoritku), Disappear, dan Only Us (yang menjadi favoritku juga). Tapi, aku gak menemukan perasaan itu dalam buku ini. Hmm bagaimana, ya.. Vibes dalam buku ini berbeda sekali dengan apa yang selama ini aku bayangkan, terlebih lagi aku kesulitan merasakan emosi Evan Hansen. Aku bingung kenapa dia merasa cemas terus-terusan tapi malah melakukan sekian banyak hal yang jelas-jelas akan membuatnya semakin cemas. Aku juga mulai sebal ketika Evan terlihat seolah memanfaatkan situasi dan menjadi anak yang agak memberontak pada ibunya. Okelah, ibunya itu sibuk sekali karena harus bekerja dan juga kuliah sehingga benar-benar jarang menunjukkan batang hidungnya di rumah, tapi itu kan karena ibunya single parent dan pekerjaannya adalah seorang perawat yang perlu stand by setiap kali diperlukan. Evan mengaku-ngaku sebagai sahabat baik Connor Murphy, yang meninggal bunuh diri setelah beberapa hari ia mengambil surat Evan. Dan karena orang tua Connor menemukan surat itu di saku anaknya, mereka beranggapan bahwa Evan adalah teman Connor, tambahan lagi ada nama Connor di gips Evan. Dan yah, itulah awal mula dari malapetaka yang diciptakan oleh Evan sendiri.
Setelah mengaku sebagai sahabat baik Connor, dan pidatonya untuk mengenang Connor menjadi viral, Evan berinisiatif membuat sebuah proyek membuka kembali kebun apel yang katanya sangat disukai Connor. Dibantu Alana dan Jared, Evan berencana menggalang dana sampai 17.000 Dollar. Banyak sekali orang yang menaruh simpati pada keluarga Murphy dan mengidolakan Evan karena dirinya sangat mendukung "sahabatnya". Sampai 300 halaman aku terus-terusan dibuat kesal dengan tindakan Evan yang seperti itu. Dan ternyata lagu You Will Be Found yang sangat aku sukai itu berawal dari sebuah kebohongan.. Kok...
Sebenarnya dari kejadian itu ada scene yang membuatku dilema. Alana mengepos pidato Evan dan semua hal tentang Connor di Facebook, banyak orang yang menyukai pos itu dan mendukung sampai berdonasi. Ini seolah jadi sebuah hal yang dilematis. Di satu sisi aku kesal karena Evan membuat kebohongannya menggelinding seperti bola salju yang makin lama makin besar tapi di sisi lain dengan kebohongan itu banyak orang yang mengenal Evan dan Connor. Miris gak sih kalau orang-orang baru mengenal dan kemudian mengenangmu setelah dirimu gak ada? Itulah yang aku rasakan untuk Connor yang entah bagaimana caranya juga sosoknya muncul dalam buku ini. Terkesan seperti hantu karena ia terus-menerus ada di setiap kejadian di buku ini. Ia tau Evan berbohong di depan banyak orang dan ia juga tau bahwa Evan memiliki ketakutan pada banyak hal, Connor juga yang membuat Evan bangkit berdiri ketika ia terpuruk karena kebohongannya sendiri.
"Kalau rasa sakit itu ada dalam dirimu, rasa sakit itu akan menetap. Rasa sakit itu akan mengikutimu ke mana pun. Kau tidak akan bisa lari atau menghapusnya. Kau tidak bisa mendorongnya jauh-jauh. Rasa sakit itu pasti kembali. Seperti yang sudah kupikirkan selama ini, setelah semua yang terjadi, mungkin hanya ada satu cara untuk bertahan. Kau harus membiarkan rasa sakit itu masuk. Nikmati pedihnya. Jangan menunda-nunda. Lambat laun toh akan terasa. Jadi, lebih baik dirasakan sekarang."
Sosok Connor yang menganggap dirinya rumit dan tak layak itu sebenarnya adalah sosok yang sangat layak untuk dicintai. Dari semua karakter dalam buku ini, karakter Connor lah yang paling menyentuh hatiku dan membuatku menangis pada 50 halaman terakhir. Selain itu sosok Heidi, mamanya Evan pun perlu aku acungi jempol. Heidi bukanlah sosok ibu yang sempurna, karena ia sering tidak menunjukkan dirinya di rumah. Tapi, ia terus-menerus meyakinkan Evan bahwa ia adalah ibu yang akan selalu ada untuk anaknya kapanpun Evan butuh dan hal itu bukan hanya kalimat belaka.
Di bagian akhir, beberapa hal pelan-pelan terkuak, termasuk perasaan Evan sendiri. Dan barulah aku bisa memahami tindakannya yang seolah haus perhatian. Kepergian ayahnya membuatnya merasa tidak layak untuk dicintai, ia takut kehilangan lagi. Aku merasa mungkin aja Connor dan Evan benar-benar bisa menjadi sahabat baik kalau masing-masing dari mereka tidak membuat tameng yang susah sekali ditembus. Connor dengan sikap agresifnya dan Evan dengan sikap menghindarnya.
Sebenarnya aku agak berharap akan ada penjelasan lebih banyak tentang keluarga Connor dan masa lalu Connor dengan keluarganya. Sebenarnya sudah disinggung sedikit dari sudut pandang Connor dan yang aku terka adalah sosok Connor yang semakin tidak satu frekuensi dengan keluarganya. Kalian tau kan anak remaja itu sulit sekali dipahami, seolah punya dunianya sendiri, dan keluarganya malah melabeli Connor dengan ini itu (Aku bisa relate di bagian ini. 🙁🙁) dan menyuruhnya mengikuti rehabilitasi karena Connor mengaku membawa ganja, padahal bukan begitu kenyataannya.
Overall walau gak sesuai dengan ekspektasiku dan ada beberapa bagian yang agak kabur, buku ini cukup bisa dinikmati. Tapi mungkin ku rasa gak semua orang akan bisa relate dengan sosok Evan dan Connor atau at least perlu effort extra untuk memahami tindakan Evan dan perasaan Connor.
Comments
Post a Comment