The Pursuit Of Happyness
Minggu lalu, aku mendapat PR dari salah satu guruku di tempat les Inggris. PR nya adalah menonton film yang belum pernah ditonton lalu mereview film tersebut dalam dua paragraf. PR yang sebenarnya cukup menyenangkan bagiku ya karena nonton film itu effortless dan mereview film pun effortless (bagiku sih begitu wkwkwk). Hal yang menurutku mustahil adalah mereview film dalam dua paragraf. Bagaimana bisa aku mereview hanya dalam dua paragraf?! Review filmku yang sudah-sudah pasti lebih dari dua paragraf, yang jelas sebagian besar berisi perasaanku saat menonton film, bukan tentang pembahasan filmnya. XD
Dari berbagai macam rekomendasi film yang dilontarkan oleh teman sekelasku yang lain, aku memilih untuk menonton The Pursuit Of Happyness. Film yang tayang tahun 2006 dan diperankan oleh Will Smith dan anaknya Jaden Christopher Syre Smith. Film ini mengangkat kisah nyata dari seorang pengusaha sekaligus motivator Amerika Serikat, Chris Gardner. Dikisahkan, Chris Gardner adalah seorang ayah dari anak laki-laki lima tahun, Christoper, yang berusaha untuk menyambung hidup dengan cara menjual mesin X-Ray untuk tulang dengan harga yang mahal. Mesin itulah satu-satunya harapan hidup bagi Chris Gardner dan keluarganya. Satu buah mesin yang terjual bisa membiayai Chris dan keluarganya selama satu bulan. Sayangnya, mesin itu dianggap sebagai kemewahan yang tidak perlu bagi para dokter. Dari awal film, aku disuguhkan dengan kehidupan Chris dengan ekonomi yang memprihatinkan. Istrinya Linda harus mengambil shift kerja tambahan untuk membantu kehidupan mereka. Tambahan tunggakan apartemen dan denda pajak membuat kehidupan mereka terasa sangat tercekik.
Aku bisa bilang bahwa film ini agak berbeda dengan kisah sukses dari orang-orang sukses pada umumnya. Film ini jelas mengisahkan jatuh bangun hidup Chris yang benar-benar selaras dengan realita kehidupan. Chris sebenarnya memiliki bakat untuk berinteraksi dengan orang lain dan dia juga bisa dibilang sebagai orang yang pintar. Tapi, hal itu tidak serta merta membuat kehidupannya mudah. Dia harus berusaha mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarganya, sampai akhirnya ia bertemu dengan Jay Twistle yang baru saja memarkir mobil mewahnya di depan gedung kantor Dean Witter Reynolds, di tengah-tengah kota sibuk San Fransisco.
"I still remember that moment. They all looked so damn happy to me. And I couldn't stop myself wondering, 'Why I couldn't be like that?'" Begitulah pikir Chris setelah pertemuan singkatnya dengan Jay Twistle. Ia memperhatikan wajah dari orang-orang yang keluar masuk gedung perkantoran itu, mereka semua tertawa lepas dan aura wajahnya sungguh terlihat cerah. Moment itulah yang membuat Chris membulatkan tekad untuk menjadi seperti Jay Twistle. Ia ingin menjadi seorang pialang saham seperti Jay Twistle dan orang-orang yang ia lihat memiliki aura wajah yang cerah.
Aku tahu kalau hampir semua reviewku tentang film ataupun drama akan penuh dengan spoiler, termasuk juga reviewku yang satu ini. *lol
Chris mengatakan pada istrinya kalau dia ingin menjadi seorang pialang saham tapi istrinya menganggap keinginan itu sama lucunya jika Chris bilang dia ingin menjadi astronot. Suatu hal yang sangat mengecewakan memang jika orang terdekatmu tidak bisa mendukung keinginanmu atau bahkan sampai meremehkanmu. Suatu hari Chris bilang pada anaknya Christoper, "Don't ever let somebody tell you that you can't do something. Not even me. Alright?" Sesuatu dalam diri Chris mendorongnya untuk tetap maju apa pun yang terjadi. Sama seperti apa yang ia katakan pada Christoper, ia pun tidak mengizinkan orang lain berkata dia tidak bisa melakukan sesuatu. Maka dia melamar menjadi pialang saham di Dean Witter Reynolds.
Enam bulan mengikuti program karyawan magang tanpa gaji bukanlah hal yang mudah bagi Chris. Menurutku program magang yang dia ikuti malah terkesan seperti berjudi, karena dari 30 peserta yang mengikuti program itu hanya ada satu orang yang akan diangkat sebagai pialang saham Dean Witter Reynolds. Kehidupan perkantoran yang dihadapi Chris pun mengingatkanku pada realita kehidupan perkantoran pada umumnya. Atasan yang semena-mena, jobdesc yang menumpuk, dan tuntutan untuk menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan, membuat Chris merasa direndahkan dan diremehkan sebagai manusia.
Perekonomian keluarganya yang semakin menurun membuat istrinya pergi meninggalkannya dan ia diusir dari apartemennya karena sudah menunggak berbulan-bulan. Denda pajak yang menghantuinya pun akhirnya membuatnya bangkrut dan membuatnya hampir setara dengan gelandangan. Ia dan anaknya harus mengantre untuk mendapatkan tempat tinggal gratis pada rumah tunawisma atau kadang mereka harus tidur di kamar mandi kereta bawah tanah karena tidak kedapatan tempat untuk bermalam. Kondisi tersebut sungguh membuat Chris frustasi. Hal yang ia lakukan seolah selalu salah dan tidak membuahkan hasil. Bakat dan kemampuan yang ia miliki pun seolah tidak membawanya kemana-mana.
"I'd have good feeling about all the things that I could be. And then I never became any of them."
Sungguhlah kehidupan Chris yang semakin lama semakin membuatnya sulit bernapas itu pun membuatku nelangsa sendiri. Hampir sepanjang film aku disuguhkan oleh kisah hidup Chris dengan keadaan yang keras dan tidak kunjung membaik.
Sampai akhirnya beberapa hal kecil menuntunnya pada secercah cahaya. Chris akhirnya menunjukkan bahwa apa pun yang terjadi, sekeras apa pun kehidupan menerpamu, kemampuan dan kegigihan akan terbayar cepat atau lambat. Dalam kondisinya yang tidak punya tempat tinggal, Chris harus pintar-pintar membagi waktu kerjanya agar ia bisa pulang lebih cepat untuk mengantre di rumah tunawisma. Ia tahu bahwa dengan tidak menaruh gagang telepon disela-sela panggilan teleponnya, ia bisa menghemat 8 menit dalam satu hari. Dari sekian banyak klien yang harus ia telepon pun ia memilah-milah mana yang paling berpotensi dan ia melakukan pendekatan langsung pada calon kliennya untuk memprospek mereka. Sesuatu yang dilakukan Chris ini berbeda dari apa yang dilakukan oleh koleganya, mungkin bisa dibilang sebagai thinking out of the box.
Selain cerita tengan Chris yang berusaha untuk mewujudkan keinginannya menjadi seorang pialang saham, film ini juga bercerita tentang cinta orang tua terhadap anaknya. Ada satu scene dimana Chris bilang bahwa ia bertemu dengan ayahnya pada usia 28 tahun, maka ia bertekad bahwa ia akan memastikan anak-anaknya mengenal siapa ayah mereka. Sebuah pemikiran sederhana yang sangat dalam maknanya dan Chris melakukan hal itu dengan segala daya upaya yang ia miliki. Ia berusaha mengasuh anaknya dengan layak walau mereka kesulitan mendapatkan tempat tinggal yang layak. Good for him, Christoper bukanlah anak rewel yang suka menuntut ini itu ina. Christoper bahkan bilang bahwa Chris adalah ayah yang baik saat mereka bermalam di rumah tunawisma, berbagi ruangan bersama dengan beberapa gelandangan lain. It's hard for me to hold my tears you know. It's kind of a heartwarming father love. Sesuatu yang cukup jarang aku temui sebagai genre film.
Menurutku film ini juga menyangkal kalimat dari "money can't buy happiness." In this movie and in the reality of life as well, money matters. Kita bisa mendapatkan kehidupan yang layak jika kita punya cukup uang. Uang sewa apartemen akan terjamin, kita punya uang untuk membayar taxi, punya uang untuk membeli hal yang kita butuhkan dan kita inginkan, tidak perlu pusing memikirkan sisa uang yang ada di rekening. In reality, money can buy certain level of happiness.
Film ini aku rekomendasikan bagi kalian yang ingin tahu lebih dalam tentang makna kebahagiaan dan tentang apa itu kegigihan. And whatever the hardships you have right now, just take a deep breath and remember, "this too shall pass."
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis too shall pass :)
ReplyDelete:) :)
Delete