Touchdown at The 24th Performance of Jakarta City Philharmonic
Mengusung tema 'Sayonara' sebagai penampilan ke 24 tahun ini, JCP menghadirkan sesuatu yang sungguh menyenangkan buatku.
Sebelum pertunjukan dimulai, aku membiasakan diri untuk membaca booklet yang dibagikan oleh panitia secara cuma-cuma. Maksudnya adalah biar aku yang sebenarnya buta nada ini seenggaknya bisa ngerti sedikit tentang apa sih yang menjadi tema pertunjukan, apa sih simfoni-simfoni yang akan dibawakan, siapa aja sih pihak-pihak yang menjadi kunci dalam pertunjukan kali ini, deelel, deelel.
Dan kali ini, JCP menghadirkan seorang pianis yang membuatku merinding saat aku membaca profilnya di booklet. Stephanie Onggowinoto, seorang sarjana cumlaude dengan gelar Magister Musik Seni Pertunjukan serta Sarjana Musik di Royal College of Music di London sebagai pemenang Penghargaan Alida Johnson, yang telah tampil di Inggris, Benua Eropa, Asia Tenggara, dan Amerika Serikat. Gils kan, bikin merinding gak tuh prestasinya. Dan lagi semua itu dicapai dalam usia muda. Aku selalu amazed dengan orang-orang yang lulus dengan predikat cumlaude pada bidang akademik tapi aku berkali-kali lipat amazed nya kalau menemukan orang yang lulus dengan predikat cumlaude pada bidang seni, bidang yang sama sekali gak aku pahami dan menurutku hanya bisa ditaklukkan oleh orang-orang yang punya bakat. Aku gak punya bakat dibidang itu, maka aku amazed sekali dengan gadis muda ini.
Permainannya dipuji "sejernih kristal dan bercahaya" serta "sarat sensitivitas", dan rupanya label itu bukan hanya pujian belaka. Aku gak tau lagu apa yang ia bawakan, tapi begitu alunan pianonya berdentang aku langsung berpikir, "ah, ini sama seperti alunan piano yang membuatku pertama kali menyukai musik klasik." Lalu sepanjang pertunjukannya, aku seolah terhipnotis untuk fokus pada setiap nada yang dimainkannya, menolak segala distraksi yang mau membuyarkan konsentrasiku. Pantas saja, Sang Kondektur, Pak Budi Utomo, begitu mengagumi gadis muda ini.
Selanjutnya ada juga pertunjukan yang berjudul "Potret Dangdut". Sejujur-jujurnya, aku adalah orang yang sama sekali tidak menyukai musik dangdut. Tapi, begitu pertama kali mendengar simfoni ini dibawakan dalam pertunjukan JCP tempo hari, loh kok menarik. Simfoni ini seolah memberikan angin segar bagi para pendengarnya. Orkestranya dapet, cengkok dangdutnya pun dapet. Kedengarannya tetap dangdut tapi versi elit. Barangkali apa yang dikatakan oleh musisi yang menciptakan simfoni ini benar adanya. Dadang Saputra yang menciptakan Potret Dangdut ini mengatakan, "dangdut sebagaimana musik yang bagi saya cukup paradoks, di satu aisi cenderung dianggap 'pinggiran' oleh sebagian kalangan; di lain sisi alam bawah sadar masyarakat ternyata juga tidak mau mengingkari elemen 'irama' dari musik dangdut itu sendiri. Dalam artian banyak yang menghardik musik ini tetapi dalam waktu bersamaan jempol jakinya ikut bergoyang tanpa terasa." Aku merasa hal yang dikatakan oleh Pak Dadang ini benar adanya. Aku gak suka dangdut tapi begitu dihadirkan dalam versi elit ini, mau gak mau aku mengagumi juga dan salah satunya adalah karena terdapat lantunan yang terasa sangat familiar, yaitu cengkok dangdutnya.
Selain performancenya, hal lain yang menyenangkan bagiku adalah ketika aku berdialog dengan seorang Mbak yang pertama kali menonton orkestra gegara sepupunya tampil sebagai pemain celo. Kami bercakap-cakap tentang orkestra ini dan segala pertunjukkannya dengan pemahaman kami yang terbatas sebagai penikmat. Terutama aku, bisa main musik, engga; baca not balok pun buta wkwkwk. Tapi rasanya menyenangkan saat bertemu dengan orang yang memiliki kegemaran yang sama, saling bercerita tentang apa yang menarik dari orkestra melalui sudut pandang kami masing-masing, lalu bertukar ide tentang pertunjukan-pertunjukan orkestra yang akan berlangsung selanjutnya. Obrolan kami gak putus sampai pintu masuk dibuka dan kami berpisah jalan karena letak tempat duduk yang berbeda. Tapi, aku gak menyangka kalau aku bisa mengobrol panjang kali lebar tanpa jeda dengan orang asing tentang sesuatu yang dianggap sebagai hobi gak lazim bagi sebagian besar temanku. Wkwkwk
Oiya, penampilan penutup kali ini sekaligus menjadi showcase bagi penampilan JCP di Asia Orchestra Week 2019 yang akan digelar di Tokyo Opera City Concert tanggal 7 Oktober nanti, loh. Mereka diundang oleh Asosiasi Orkestra Simfoni Jepang untuk tampil dalam acara itu. Aku yang mendaulat diri sebagai penikmat denan pengetahuan terbatas pun rasanya merinding sekaligus bangga loh mendengar kabar itu. Hebat kan kalau karya Indonesia bisa dipamerkan sampai ke negara lain, terutama Potret Dangdut yang aku jagokan itu. Hebat kan Indonesia punya talenta-talenta berbakat yang gak cuma bisa menyuarakan aspirasi di jalanan (dan bikin macet di mana-mana) tapi juga bisa bercerita melalui simfoni sampai ke Negeri Matahari Terbit.
Comments
Post a Comment