Tentang Menerima Kenyataan Yang Jelas Gak Semudah Diucapkan

Waktu aku interview kerja beberapa tahun lalu, salah satu interviewer (yang kemudian menjadi atasanku) bertanya, "apa hal yang paling bikin kamu stres?" Waktu itu aku sama sekali gak mengantisipasi pertanyaan semacam itu, jadi aku jawab dengan hal pertama yang terlintas di benakku, "hal yang bikin saya stres adalah hal yang gak bisa saya ubah lagi." Dan kalau dipikir-pikir memang benar sih, aku melabeli diriku sebagai seorang perencana. Kalau ada hal yang gak terlaksana dengan baik, biasanya aku uring-uringan. Padahal kenyataannya gak semua hal bisa berjalan sesuai dengan mauku, kan. Walaupun kalau mau ditelaah lagi, hal yang muncul diluar mauku pun sebenarnya gak melulu buruk. Aku hanya terlalu saklek pada rencanaku aja. Sejak pertanyaan itu dilontarkan sampai saat aku menulis post ini, aku masih dalam proses untuk menjadi manusia yang lebih fleksibel terhadap perubahan. Karena makin ke sini aku merasa ada makin banyak hal yang perlu aku handle, yang menyita waktuku, atau hal-hal lain yang seringkali muncul tanpa permisi. Aku akan menghancurkan diriku sendiri secara berkala jika aku saklek pada pemikiran bahwa semua hal harus berjalan sesuai apa yang aku mau. Aku belajar untuk menikmati semua hal yang datang, bahkan si perencana ini pun belajar untuk menjadi manusia impulsif yang melakukan segala sesuatu secara spontan, yang ternyata bisa dibilang menyenangkan juga kalau dilakukan dalam batas wajar.


Setiap hari yang ku lalui pun jelas beragam 'cuaca'nya. Gak melulu cerah, gak melulu mendung. Langit biru akan berlalu, hujan badai pun akan berlalu. Kedengarannya kok gampang, ya? Hei, kenyataannya gak segampang itu, Marimar! Aku harus-dengan susah payah-bertahan dan berjuang saat hujan badai datang. Apalagi kalau kalimat "ini pun akan segera berlalu" tak kunjung terpikir dalam benak. Mau menikmati si hujan badai pun rasanya kok sulit. Gak cuma aku, sih. Semua orang pasti akan melewati semua itu. Kan, namanya juga hidup, gak ada yang jalannya mulus-mulus aja.

Ada sebuah kalimat dari novelnya Haruki Murakami, Norwegian Woods, yang menjadi favoritku sejauh ini. "Kau anggap saja kehidupan ini sebagai kaleng biskuit. Di dalam kaleng biskuit ada bermacam-macam biskuit, ada yang kamu suka ada yang kamu tidak suka. Dan kalau terus memakan yang kamu suka, maka yang tersisa hanya yang tidak kamu suka. Setiap mengalami sesuatu yang menyedihkan aku selalu berpikir seperti itu. Kalau yang ini sudah ku lewati, nanti akan datang yang menyenangkan, begitu. Karena itu hidup ini seperti kaleng biskuit." Kadang aku mengangguk-angguk setuju dengan kalimat itu, tapi gak jarang kalimat itu memunculkan pertanyaan lain dalam benak. Kalau udah tinggal biskuit yang aku gak suka gimana cara ngabisinnya?

Beberapa hari lalu, aku mendapatkan sedikit pencerahan dari secuil cerita yang dibagikan salah satu atasanku di kantor baru. Beliau menceritakan secuil kisah pribadinya (yang gak akan aku jelaskan di sini) dan mengenai penerimaan. "Kadang orang tuh kalau dikasih yang bagus-bagus suka udah seneng duluan, perasaannya udah melambung tinggi, udah overjoy. Begitu jatuh gak terima. Padahal hal itu malah bikin masalah gak selesai atau bikin masalah baru." Begitulah kurang lebih kalimatnya. Iya, aku mengangguk-angguk mendengar pengakuan dirinya yang begitu jujur sekaligus mengangguk-angguk tanda setuju. Banyak hal yang gak kita sukai akan datang dan pergi, banyak hal yang berjalan gak sesuai dengan rencana, banyak hal buruk yang datang tanpa mengetuk pintu. Lalu, kalau udah begitu kita bisa apa? Hal terbaik yang bisa kita lakukan pertama kali adalah menerima semua itu terjadi. Klise sih kedengarannya. Tapi nyatanya 'menerima kenyataan' menjadi salah satu hal yang paling sulit yang penah kita lakukan.

Misalnya aja waktu aku kena restruktur, aku kesel setengah mati dan perlu waktu berbulan-bulan untuk menerima dan merasa bersyukur kalau aku kena restruktur, toh saat iyu aku langsung dapat kerjaan baru. Waktu aku ketauan punya gen thalasemia (oke, aku belum cerita lebih detail tentang ini, sih), mungkin dari luar aku keliatan fine-fine aja. Tapi aslinya aku uring-uringan dan tipikal Pisces itu mikirnya kejauhan. Mikirin hal-hal apa aja yang gak bisa aku lakukan dengan maksimal, mikirin kalau misalnya berkeluarga gimana, mikirin kalau aku nanti punya anak kasian anaknya kena juga. Yaelah, jauh bener kan mikirnya macam ke ujung Pluto, aslinya pacar aja gak punya. 🤣🤣

Jadi ya balik lagi, kalau aku harus menghabiskan biskuit yang gak aku suka bagaimana? Hal terbaik yang hisa aku lakukan adalah menerima bahwa di kalengku hanya tersisa biskuit-biskuit itu. Semakin cepat aku menerima kenyataan semakin cepat aku menghabiskan biskuit-biskuit itu. Apalagi kenyataan yang aku hadapi adalah sebuah hal bernama 'kehidupan', yang gak pernah pasti, yang jalannya gak pernah rata, yang hadirnya gak melulu mendatangkan canda tawa. Semakin cepat aku menghabiskan biskuit-biskuitku semakin cepat hal yang gak aku sukai terlewati dan semakin sedikit drama baru yang berdatangan.

Comments

Popular Posts