Sedikit Cerita dari Anak-Anak Tanah Humba
Guideku waktu di Sumba cerita kalau sebenarnya dia adalah Batman. Boong deh. Ahahahahahaha #krikkrik Katanya, si abang sebenarnya berasal dari sebuah desa dekat Pantai Bawana, Desa Kodi, yang ternyata belum tersentuh listrik hingga sekarang. "Dari kecil sampai saya umur 20 tahun belum ada listrik." Akhirnya tahun 2009 dia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Tambolaka mencari perubahan sederhana. Listrik.
Boro-boro bisa wifi-an atau main mobile legend, lampu bisa nyala aja udah bagus banget. FYI, kalau sekarang desa di sana gak menggunakan listrik tapi menggunakan panel surya. Jadi ada beberapa rumah yang di atapnya ada panel suryanya. Entah bagaimana mekanismenya, gak paham aku tuh. Di antara desa dan kota, ada juga rumah yang menggunakan mesin genset.
Selama di sana, dimana-mana aku disuguhi oleh keaslian dan kemewahan alam. Salah satunya di Desa Adat Praijing. Rumah-rumah di sana masih menggunakan rumah adat Sumba yang menggunakan bahan-bahan alam dan masih sangat tradisional. Sebelum pergi ke sana, aku sempat baca-baca dulu di Google. Katanya dalam sebuah rumah tradisional Sumba, isi rumah gak boleh sembarang, harus sesuai dengan aturan. Bagian bawah rumah digunakan untuk hewan ternak, (iya, kemarin aku sempat lihat ada kandang babi beserta babinya di bagian bawah rumah), bagian tengah untuk penghuni, dan bagian atas berfungsi untuk menyimpan makanan dan benda-benda pusaka.
Kalau orang yang berwisata ke sana barangkali berkomentar "enak ya tinggal di sini, adem tempatnya, gak macet." Iya, kalau di sana nengok kiri kanan yang dilhat kuda dan kerbau, kalau di kota kan nengok kiri kanan yang dilihat mobil dan motor. Udaranya lebih segar juga karena banyak pepohonan bukannya banyak polusi. Tapi, ke mana-mana jauh. Barangkali harus punya kendaraan minimal motor, walau yang dipakai oleh orang sana adalah motor yang knalpot atau spionnya mereka preteli. Kalau gak punya motor? Ya jalan kaki.
Waktu bertandang ke Tanarara di Sumba Timur-yang merupakan hamparan bukit kapur, dan untuk bisa ke atasnya harus jalan menanjak naik mobil mengelilingi bukit-aku melihat beberapa anak berseragam SD menontoni kami yang sedang menggelar sesi photoshoot. Aku bertanya-tanya, di mana sebenarnya sekolah mereka. Begitu ku tanya guideku, dia bilang sekolah paling dekat ada di bawah bukit. Jadi anak-anak yang tinggal di sekitar Tanarara harus melakukan perjalanan panjang, naik turun jalanan setiap hari untuk sekolah.
Lalu aku sempat bertemu dengan beberapa anak kecil waktu aku main di Bawana. Aku senyumin waktu mereka mendekat. Rasanya ingin sekali ku abadikan momen mereka. Namun salah satu temanku mengingatkan, "they won't do it for free." Sebelum pergi ke Sumba, salah satu temanku memang sudah mewanti-wanti kalau anak-anak di sana sudah mengerti uang, mereka akan menjual barang atau jasa atau bahkan meminta uang ke pengunjung yang datang. Saat itu aku sedikit gak percaya, karena anak-anak yang difoto oleh para travel blogger punya senyum yang begitu tulus. Tapi lagi-lagi aku begitu meremehkan.
Salah satu dari kawanan anak kecil yang menghampiriku punya senyum yang sangat menarik menurutku. Karena bukan hanya bibirnya yang tersenyum tapi matanya pun tersenyum. Senyum yang jarang aku temui di perkotaan. Namanya Nela. Ia duduk di sampingku lalu menanyakan namaku dan nama teman-temanku. Tak lama kemudian Nela bilang, "kak, minta uang kak untuk beli buku." Tepat seperti apa yang dibilang oleh temanku. Aku sempat tertegun sejenak sebelume akhirnya aku menolak halus, "kamu masih kecil, gak boleh kamu minta uang." Tak lama ia dan teman-temannya pergi. Lalu singkat cerita, setelah puas bermain di Bawana (boong, deng. Aku belum puas sebenarnya main disana, tapi karena matahari udah turun jadi harus kembali tracking ke atas. Hiks), aku kembali ke mobil lalu salah satu dari anak-anak tadi kembali meminta uang kepadaku. Aku tanya dia kelas berapa dan dia bilang kelas 1 SMP. Lalu aku tanya lagi sekolahnya di mana, yang sebenarnya hanya pertanyaan basa basi karena aku gak akan tahu nama daerah yang dia sebut lalu aku kan auto lupa juga anaknya. Wkwkwk Lalu aku bilang ke dia untuk sekolah dulu yang benar sampai lulus lalu cari kerja sendiri maka dia bisa dapat uang tanpa perlu meminta. But I wonder if she understand what I asked her to do. Karena setelah itu dia minta uang lagi. Saat itu aku merasa sedikit sayang karena sepertinya terlalu banyak anak-anak yang kehidupannya sungguh kekurangan sampai harus minta-minta. Lalu entah di sekolah mereka diajari pemahaman tentang kehidupan atau tidak, tapi mereka jelas harus meninggalkan pola pikir 'meminta-minta' kalau benar-benar mau menjadi 'manusia'.
But they already touch my soft spot. Aku tahu kalau masih banyak anak di daerah pelosok sana belum dapat pendidikan yang layak. Selama 4 hari aku di sana, hanya segelintir sekolah yang terlihat, dan sekolah yang termasuk 'lumayan' bisa dihitung dengan jari satu tangan. Aku tahu kalau ada banyak sekali anak-anak yang kekurangan dan bukan hanya di Sumba aja. Tapi begitu aku bertemu langsung dengan salah satu dari mereka, rasanya aku bersyukur sekaligus miris. Aku bersyukur karena jelas aku punya kehidupan yang jauh lebih baik, aku bisa lulus S1 di kota besar sampai membuatku bisa menghasilkan uang sendiri. Sedangkan mereka harus pergi sekolah di tempat yang jauh dengan ruang kelas seadanya dan meminta uang ke turis-turis yang datang.
Dulu itu aku termasuk ke dalam anak yang malas belajar. Bikin PR selalu mepet, makin tinggi tingkat sekolah aku malah mikir yang penting naik kelas, dikasih les pun ogah-ogahan. Tapi sekarang aku makin sadar kalau sekolah itu benar-benar perlu. Walau mungkin dari segi sistem pendidikan, negara kita ini masih banyak kurangnya. Tapi at least dengan bersekolah, kita jadi lebih dekat dengan dunia luar, kita jadi tahu dunia seperti apa yang mau kita jalani, kehidupan yang lebih baik yang seperti apa yang bisa kita dapat, sampai akhirnya kita bisa juga membuat perubahan-perubahan nyata. Seperti misalnya listrik, orang-orang yang bekerja di industri listrik jelas sekolah dulu kan sebelumnya.
Aku bukan termasuk anak yang punya jiwa sosial tinggi. Tapi, aku seringkali mikir-terutama dimasa-masa waktu aku lagi hedon banget-"kalau aku bisa beli novel seharga 70 ribu, uang 70 ribu itu bisa dipakai untuk beli apa aja ya kalau yang punya adalah anak-anak yang kekurangan?" Dari pemikiran semacam itu, aku jadi antusias kalau ada NGO yang minta aku untuk berdonasi. Ada kok NGO di mall-mall yang minta kita bergabung untuk membantu anak-anak yang kurang mampu, kayak SOS Children Village dan Yayasan Sayangi Tunas Cilik. Mereka meminta kita berdonasi melalui kartu kredit/debit. Jadi waktu aku dapat kartu kredit, aku langsung antusias mengiyakan untuk berdonasi. Bukan aku mau meninggikan diri atau bagaimana. Aku cuma mikir aja, kalau aku bisa beli buku seharga 70 ribu atau beli parfum 200 ribu, berarti aku juga bisa membantu anak-anak yang lebih membutuhkan. Kadang sering kan kita ngerasa kalau uang segitu kecil, apalagi kalau lagi weekend trus ngemall, elah 200 ribu kurang malah. Tapi uang 200 ribu bisa mereka pakai untuk beli beberapa potong baju, atau beli tas dan sepatu sekolah baru, atau bahkan buat tambahan biaya uang sekolah. Dan sejak bertemu Nela dan kawan-kawannya pun, keinginanku untuk menjadi volunteer semakin kuat. Aku pernah nemu di instagramnya idvolunteer kalau mereka buka pendaftaran untuk jadi volunteer mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak di Sumba. Iya, mimpiku jadi bertambah satu lagi. Kalau balik ke Sumba, aku mau jadi volunteer untuk Nela dan teman-temannya.
Aku ngerasa sayang juga kalau uangku hanya ku habiskan untuk foya-foya, kan. Btw, aku gak memaksa kalian untuk punya pikiran yang sama kayak aku, lho. Maka jangan komentar, "duit-duit guwe, suka-suka guwe dong mau diapain", ya. #menadakinsecure
Comments
Post a Comment