How Can We Survive Through Negativity?
Tempo hari, temanku pernah mengajukan pertanyaan begini, "how can we survive through negativity?" Saat itu aku memberikan jawaban yang sudah bertahun-tahun terpatri di otakku. Aku bilang kalau hidup dijaman now ini kita harus pintar-pintar buat tameng biar gak keseret hawa negatif. Aku percaya kalau aku sudah buat benteng (bukan tameng lagi ya, sahabat) untuk pertahananku terhadap hal-hal semacam itu, sikap sebodo amat dan pelit menghamburkan waktuku yang berharga adalah sikap yang ku tenggarai sebagai bentengku yang paling kokoh. Aku seolah menciptakan sebuah formula untuk menepis hawa negatif di sekitarku.
Tapi, nyatanya pengaplikasian formulaku gak segampang memikirkannya. Sejak temanku mengajukan pertanyaan seperti itu, aku seolah menjadi lebih peka dan juga keadaan memaksaku untuk berhadapan dengan hal-hal negatif, wih bejibun datangnya, keroyokan pula!! Sampai akhirnya, pertanyaan yang terngiang-ngiang di benak temanku pun menjadi suatu pertanyaan yang bersifat personal yang ku tanyakan pada diriku sendiri. Iki piye iki?! katanya menciptakan udah benteng sedemikian rupa tapi kalau dikeroyok oleh sekian banyak hawa negatif kok goyang juga bentengnya macam kena gempa bumi. Aku masih kesal juga, gondok juga, marah-marah juga.
Beberapa waktu lalu aku harus berurusan dengan orang yang ku cap sebagai orang paling negatif di dunia. Orang yang paling enggan bersikap baik sama orang tua, menganut prinsip hidup liberal tapi menurutku prinsipnya salah karena kebebasan yang diyakininya itu semacam ya-suka-suka-gue-dong-mau-ngapain-toh-hidup-gue yang berujung pada sikap simpati yang menyeleweng arah karena toh memang hidup-hidup sendiri tapi hei hidup sendiri kan bukan berarti hidup sendirian. Orang itu ku anggap begitu rapuh karena hawa negatif begitu terasa walau aku gak selalu berada di dekatnya. Tapi, kadangkala orang berhawa negatif masih tetap asik untuk diajak main ke mall, oke acara nonton bioskop kami cukup setahun sekali memang, dan untuk film yang itu-itu saja setiap tahunnya; dan bahkan kadangkala asik juga diajak berdiskusi tentang hal-hal yang menyangkut keluarga dan masa depan. Iya, aku jadi bisa melihat sudut pandang lain dari suatu hal, sesuatu yang memang ku gemari dari setiap acara diskusi dengan orang lain. Aku jadi bisa menyadari kalau orang itu rapuh, aku pun sama. Tapi, suatu ketika, sifat negatifnya itu seolah udah gak bisa ku tolerir. Karena semakin tak pandang bulu dia melemparkan sampah negatifnya. Maka, ku putuskan untuk berhenti peduli.
Beberapa influencer di Instagram, ya sebut saja Koko Amrazing dan Cici Jenny Jusuf yang sering banget ku pantengin Instagramnya, bilang kalau kita gak perlu berlama-lama berhubungan dengan orang negatif yang sekiranya menjadi toxic buat kehidupan kita. Orang-orang yang bisa bikin suasana hati berubah mendung dalam seketika, orang-orang yang bikin hati empet dan gondok berjam-jam atau berhari-hari, orang-orang yang membuat kita stres dan frustasi. Putuskan saja hubungan dengan orang-orang itu. Ya, memang benar begitu baiknya. Tapi, rasanya sama sulitnya seperti membalikan telapak kaki gajah.
Walau pertemuan dan obrolanku dengan orang itu gak intens-intens amat, tapi tetap saja aku harus merasakan kekecewaan, fase-fase menyalahkan diri sendiri, fase-fase aku merasa kesal setiap bangun tidur, fase-fase yang membuatku merasa ingin melempar-lempar barang setiap kali ingat dengan orang itu. Sampai akhirnya aku sampai pada posisi tenang, setenang ombak pagi hari yang mengamuk begitu dasyat pada malam sebelumnya. Aku berpikir, 'yasudah'. Yasudah, mau digimanain lagi, shay. Toh semua orang gak harus selamanya sepihak denganmu, kan.
Nah, itu tadi ceritaku yang kenal dengan orang berhawa negatif yang gak sering-sering amat ku temui. Bagaimana kalau orang berhawa negatif itu kita temui setiap hari? Ini juga terjadi padaku. Iya, kan seperti ku bilang, hawa negatif seolah memberondong benteng pertahananku seperti gempa bumi. Tapi, dulu ada seorang Bhikuni yang ceramah di viharaku, Beliau berkata (kurang lebih begini), "banyak orang yang mau latihan buat gak marah-marah tapi bilang 'kenapa sih setiap mau gak marah-marah pasti ada aja yang bikin marah-marah?'. Lho, malah bagus, kan? Ibaratnya kita mau sekolah ya pasti dapet ujian buat naik kelas, semakin sulit ujiannya maka semakin bagus sekolahnya." Jadi, kurang lebih begini: kehidupan seolah memberi ujian agar kita naik level. Yang membedakan kehidupan dengan sekolah adalah kehidupan selalu memberikan ujian dulu baru kita bisa belajar. Yasudah, kuanggap saja ini adalah challenge ku untuk naik level menjadi manusia yang lebih baik, ya.
Nah, salah satu bentuk negativity yang paling umum di jaman now adalah Kepo dan nyinyir. Yang paling ngetren, paling mewabah, dan paling gampang menular di kalangan people jaman now. Yang aku gak ngerti apa faedahnya. Coba deh perhatikan sekeliling kalian, berapa banyak orang yang mencari-cari info atau berita tentang orang lain dan motifnya adalah benar-benar care, bukan kepo. Barangkali bisa dihitung jari, ya. Kebanyakan orang yang ku temui mencari sesuatu dari diri orang lain, untuk apa? Untuk dinyinyirin. Bah!! Macam hidupnya udah gak ada kerjaan lain aja!!
Tapi memang begitu kan tren orang jaman now. Kepo dan nyinyir seolah menjadi hal biasa saat ini. Melipir saja ke account Instagram lambeturah. Isinya kepoin orang tapi followers nya sampai 4 juta orang. Hellaw 4 juta, itu teh manusia kabeh. Itu baru satu account, belum account-account lain yang setipe. Sosial media seolah dijadikan wadah untuk menyebarkan keburukan orang lain yang notabene gak ada sangkut pautnya sama mereka, yawala kenal aja engga, lho. Bahkan kalau orang yang sudah terbiasa kepo dan nyinyirin orang, orang yang gak ngapa-ngapain pun senantiasa dikata-katain, kan.
Apa-apaan hidup dengan cara begitu? Mereka seolah merusak ketenangan hidup mereka sendiri dengan cara merusak ketenangan hidup orang lain. Heran beribu heran. Hmm
Tapi, aku akui sih kalau keponya orang jaman now itu luar biasa. Coba kalau keponya itu dibelokan ke hal-hal yang lebih berfaedah, niscaya bangsa ini akan lebih maju dan rakyatnya lebih sejahtera,kan. ☺️☺️
Dan, hal ini sempat terjadi kepadaku dan seperti yang ku bilang, orang-orang ini berkeliaran di sekitarku. Jadi, aku ini biasanya termasuk ke dalam spesies manusia yang cuek bebeknya kebangetan, tapi aku paling gak suka sama orang yang keponya kebangetan juga. Pernah suatu kali aku ada masalah pribadi dan bosku nanya-nanya kepo begitu, aku jutekin, dong. Budak korporat macam apa aku ini. Wkwkwk
Nah, tapi biasanya rasa gak suka ku mentok ke rasa kesal sesaat aja yang benar-benar cuma bertahan berapa menit lalu hilang kesalnya. Suatu kali aku berurusan dengan orang yang keponya minta ampun, yang mulutnya seolah selalu gatel kalau gak nyinyirin orang, setelah nyinyirin orang lalu play victim. Camana lah itu. Hmm Aku lihat orangnya aja, hatiku langsung panas membara, kesal sampai ke ubun-ubun. Dan keadaan ini ku pikir sudah gawat, siaga 1. Kalau dibiarkan terus, aku secara gak sadar membuatkan ruang khusus di hatiku untuk menyimpan segala kejelekan dari orang yang aku gak suka itu. Lalu, segala sesuatu yang berhubungan dengan orang itu akan membuatku senewen walau hal yang dia lakuin gak ada sangkut pautnya denganku. Lalu, jadi benci dan mulutku jadi gatel juga buat mengumpat-ngumpat dia di belakang. Lah, kan gawat kalau begitu ceritanya. Aku berlaku sama seperti orang yang aku gak suka. Kepo dan nyinyir. Sama saja seperti aku menjadi penyebar hawa negatif, kan.
Nah, tapi biasanya rasa gak suka ku mentok ke rasa kesal sesaat aja yang benar-benar cuma bertahan berapa menit lalu hilang kesalnya. Suatu kali aku berurusan dengan orang yang keponya minta ampun, yang mulutnya seolah selalu gatel kalau gak nyinyirin orang, setelah nyinyirin orang lalu play victim. Camana lah itu. Hmm Aku lihat orangnya aja, hatiku langsung panas membara, kesal sampai ke ubun-ubun. Dan keadaan ini ku pikir sudah gawat, siaga 1. Kalau dibiarkan terus, aku secara gak sadar membuatkan ruang khusus di hatiku untuk menyimpan segala kejelekan dari orang yang aku gak suka itu. Lalu, segala sesuatu yang berhubungan dengan orang itu akan membuatku senewen walau hal yang dia lakuin gak ada sangkut pautnya denganku. Lalu, jadi benci dan mulutku jadi gatel juga buat mengumpat-ngumpat dia di belakang. Lah, kan gawat kalau begitu ceritanya. Aku berlaku sama seperti orang yang aku gak suka. Kepo dan nyinyir. Sama saja seperti aku menjadi penyebar hawa negatif, kan.
Nah, aku cerita hal ini pada temanku lalu temanku bilang begini "Setiap ketidak sukaan dan kebencian kita sama seseorang kan kayak kita bawa sampah. Semakin gak suka semakin benci, sampahnya semakin banyak. sayang amat yah hidup kita bau gara-gara dia." Dan kepalaku langsung mengangguk-ngangguk macam mainan anjing yang biasa ditempel di dashboard mobil, tanda setuju. Setuju banget malah!!
Kalau hal negatif itu dianalogikan dengan sampah, yang ngerubungin sampah itu kan lalat-lalat, hewan yang senangnya main kotor. Kalau aku, kamu, dan kalian kebawa-bawa sifat negatif, itu artinya kita tak ubahnya seperti lalat yang sukanya main kotor.
Ditambah lagi ada kalimat yang mengatakan, You Only Live Once. Jadi, untuk apalah hidup kita yang cuma sekali ini kita habiskan untuk gedek-gedek sendiri berurusan sama orang yang punya hawa negatif yang kuat banget, untuk apalah juga kita menghabiskan waktu ikut-ikutan mereka kepoin orang atau nyinryirin orang. Ingat ya, Nak. You Only Live Once.
Jadi, setelah aku menelaah dari berbagai sumber (termasuk diriku sendiri), mari kita balik lagi ke pertanyaan awal. How can we survive through negativity?
1. Don't be a reactor. Sabodo teuing aja ama urusan orang-orang yang gak ada sangkut pautnya sama aku. Kalau orangnya mau nyinyirin atau kepoin aku ya itu urusan mereka, bukan urusanku.
2. Pelitlah terhadap waktu karena You Only Live Once. Gak usah ikut-ikutan melakukan hal-hal unfaedah.
3. Bird with same feather flocks together. Pilih teman-teman yang positif, bukan teman-teman yang hobinya nyinyir atau kepo. Kalau lingkungan positif kan kita juga jadi ikut positif, kalau negatif ya kebawa-bawa negatif.
4. Jangan mau bawa sampah karena sampah kan bau. Seperti yang ku analogikan sebelumnya, kalau benci sama orang jadinya bawa-bawa sampah yang bau, jadi beban diri sendiri juga, kan.
Oh, dan sebenarnya, aku merasa bersyukur karena di sekelilingku masih ada orang-orang negatif yang kelakuannya sedemikian rupa. Kan jadinya aku bisa belajar bagaimana cara berbesar hati menghadapi orang-orang seperti itu, aku jadinya bisa belajar menjadi orang yang tegas menolak kekepoan dan nyanyian nyinyir orang-orang semacam itu tanpa aku nyinyirin balik, aku jadi bisa lebih pintar memilah-milah mana orang-orang yang bertanya keluh kesahku karena memangnya care dan mana yang hanya sekadar kepo.
Yah, jadi begitulah singkat ceritaku. (Paleloe singkat, Mei) Apa ceritamu? Ahahahaha
nice sharing Mei ^^
ReplyDeletegw sendiri sih beruntung lingkungannya positif...jadi kalo nyinyir pun ya nyinyir karena bercandaan gitu...hihihi
iya, bagus pik klo lingkungannya begitu. gak bikin capek ati kan wkwkwk
Deleteiya hahaha
Deletesemangat Mei!