Instagram: Toxic vs Motivation
Baru-baru ini aku nemu sebuah pertanyaan di instastory yang menggelitik yang bunyinya begini, "Does being on Instagram sometimes create pressure from the aspirations to have that perfect life / look / clothes / make up / legs / job / vacation / etc?"
Sejak media sosial yang satu ini ngehits, memang banyak yang memakai standar foto bagus itu kalau dapat like banyak di Instagram, tempat yang ngehits itu adalah tempat yang banyak dipost di Instagram, makanan minuman favorit itu adalah makanan fancy yang dipost di Instagram, travelling ke Jepang, Korea biar bisa pamer foto sakura dan salju di Instagram. Semua for the sake of Instagram. Lalu orang-orang jadi merasa harus makan makanan yang ada di Instagram demi jadi anak kekinian, berbondong-bondong beli kamera mirrorless karena anggapannya biar foto yang dipost di Instagram lebih bagus hasilnya, kalau mau ke cafe pinky musti pake baju pinky kalau ke cafe blacky musti pake baju item biar matching pas difoto. Duh.
Padahal foto yang bagus itu gak harus selalu foto yang dapat banyak like di Instagram. Orang-orang datang ke tempat yang katanya ngehits buat sibuk bikin Instastory "Hai, aku lagi di sini lho" lalu yang kelihatan itu mukanya doang, pemandangannya gak kelihatan karena ketutupan muka si people jaman now yang keasikan dadah dadah. Lalu pergi ke tempat makan dan begitu makanan datang langsung difoto dari berbagai angle abis itu sibuk taruh di Instagram dan akhirnya makanannya jadi dingin.
Kalian tahu Museum Macan, kan? Museum yang mempertontonkan Infinity Roomnya Yayoi Kusama yang terkenal itu. Aku sempat datang ke sana waktu museum itu belum lama buka. Aku penasaran, seperti apa sih Infinity Room itu dan juga sekalian latihan motret foto low light. Aku memang sudah expect akan ada antrian mengular di sana, dan benar saja antriannya seperti ular melingkar-lingkar di pagar. Sebagian orang di sana menenteng-nenteng kamera, sebagian pakai baju bagus. Mungkin sebagian punya tujuan yang sama sepertiku, penasaran sekaligus mau belajar motret, tapi sebagian lagi rela ngantri panjang for the sake of Instagram. Oke, pada akhirnya aku post fotoku juga di Instagram, tapi itu setelah aku berusaha menikmati 20 detik waktuku di dalam Infinity Room dan kesal karena boro-boro belajar motret low light yang baik dan benar yang ada malah aku harusnya motret pake mode continuous shot biar dapat foto banyak dalam waktu super duper minim tanpa ada kesempatan buat ngulang lagi kalau-kalau ternyata hasilnya gak memuaskan. Kzl.
Lalu efek Instagram lainnya juga sempat terjadi padaku waktu aku jalan-jalan ke Bali tempo hari. Aku dan temanku sempat sibuk nyari cafe-cafe ngehits di Bali, cafe ala-ala Gipsi, cafe yang banyak dikunjungin bule, tempat ice cream warna-warni, lalu beli jus dengan harga selangit dengan rasa yang gak seWAAW harganya (bahkan jus temanku baunya macam bau tanah habis hujan LOL) lalu post di Instasotry. Habis itu menyesal karena sudah iseng jadi people jaman now karena jadinya aku bokek sebelum waktunya. Hiks. Bukannya menikmati desiran ombak di Devil's Tears, Snorkeling di Nusa Penida, menikmati suasana Bali di Tanah Lot, atau nonton Tari Kecak atau Tari Pendet. Kemarin itu aku maunya begitu waktu ke Bali, tapi gak terealisasi semua karena malah nongkrong di cafe ala-ala people jaman now yang jalan-jalan ke Bali. Dan akhirnya aku kesal + menyesal karena jalan-jalan ke Bali tapi gak berasa Balinya. Hiks
Tapi, ada temanku yang iri setengah mati setelah melihat Instastory ku. "Ih, kamu kemarin ke cafe ini? Asik banget sih, itu kan instagramable tempatnya buat foto, bikin iri banget sih. Aku juga mau ke Bali, deh." Bukannya merasa bangga (kalau ngafe di tempat yang bikin bokek itu bisa bikin bangga sih) reaksiku malah semacam meme Jackie Chan yang bilang "Whaaat??!!" Jadi, maksudnya temanku itu mau ke Bali demi ngafe ke tempat yang ngehits di Instagram, gitu?? Lalu aku memutar bola mata sambil bergumam "dasar people jaman now".
Dan bukan cuma temanku saja yang seringnya iri melihat Instagram orang yang makan ini makan itu atau ke tempat ini ke tempat itu atau foto pakai baju bagus dengan background daun gugur atau lidahnya lagi melet mau nyobain rasa salju, semua people jaman now begitu, aku pun kadang begitu. Kalau cewek-cewek pada umumnya iri liat selebgram yang punya make up ini itu atau pakai baju ini itu, aku ngilernya liat selebgram yang ngepost foto di Arashiyama Bamboo Grove Jepang, foto di Hot Air Baloon Cappadocia, atau yang ngepost foto lagi naik kereta di Myanmar.
Seringnya juga Instagram dijadikan wadah untuk pamer. Pergi makan ke sini untuk pamer di Instagram bukannya untuk mencicipi rasa makanannya, pegi ke Jepang untuk pamer di Instagram lagi foto sama Sakura bukannya menikmati pemandangan Sakura dan angin semilir musim semi di Jepang.
"Instagram is a bit toxic - I think this causes most 'social pressure' that happening lately, that you have to eat in fancy places and wear nice clothes to post in Instagram story. Some people even sit ini a restaurant just to have a good picture and post to IG because they just have to do it, but they don't care about the food," ini komentar dari salah satu pengguna Instagram atas pertanyaan di atas.
Kokoh Alexander Thian pun menyebut begini di post nya, "Sadar gak, makin banyak orang yang motivasi travellingnya adalah biar dapet foto bagus buat pamer di Instagram. Padahal travelling itu buat nambah pengalaman, melihat yang beda, mengalami hal-hal baru, bersyukur dikasih rezeki, kesempatan, dan umur untuk berinteraksi dan experiencing those kind of things. Yang kerap terjadi: ribet pilih outfit biar kece difoto, sibuk cari instagramable spot biar puas pamernya, begitu tiba di destinasi bukan lagi menikmati apa yang tersaji tapi ribet sama hengpong bikin instastory, vlog, dll. Esensi travellingnya sengaja ditinggal entah di mana for the sake of pamer." Lalu aku mengangguk-angguk tanda setuju seperti mainan anjing yang ditempel di dashboard mobil.
Efek samping media sosial yang satu ini selain menimbulkan social pressure adalah membuat addicted. Ngaku deh, pasti di antara kalian juga ada orang-orang yang tipenya seperti aku yang buka Instagram minimal 300 hari sehari. Yakan? Yakan? #nyaritemen. Iya, saking seringnya aku buka Instagram sebagian diriku yang lain sampai geregetan sendiri. Begitu pulang ngantor aku bisa saja duduk di kursi lalu ngescroll feed Instagram sampai 1-2 jam, lalu beberes, abis itu lanjut lagi buka Instagram dan double tap hampir semua foto yang aku lihat, setelah itu aku mengeluh kalau waktu itu cepat sekali berlalu, kalau aku itu gak punya waktu buat do something. Iya, gak punya waktu buat do something karena waktunya abis kepake buat main Instagram. Sampai aku sempat bertanya-tanya apa aja sih yang dilakukan orang jaman dulu sebelum jamannya nenteng henpon itu sama pentingnya dengan nenteng jempol tangan?
So, kalau ditanya Instagram itu toxic atau motivation, untukku adalah semacam toxic. Aku berusaha untuk memfollow account-account yang sekiranya akan memberiku motivasi dan pembelajaran baru. Misalnya saja memfollow selebgram yang hobby share info travelling atau tips motret atau tips photo editing, account yang gambar-gambarnya bagus yang bisa membuatku punya keinginan untuk latihan menggambar lagi. Tapi, yang terjadi adalah aku menscroll feed Instagram, like foto mereka lalu taruh henpon, lalu scroll feed Instagram lagi, like foto mereka lagi. Begitu aja terus sampai Brachiosaurus bangkit lagi.
Tapi, akhir-akhir ini aku sedang berusaha untuk jadi lebih produktif. Gak melulu bawa-bawa hp macem bawa-bawa jempol. Aku kembali membaca buku fisik bukannya buku ebook, kalau kena insomnia aku akan belajar Korea bukannya baca komik di hp. Waktu 1-2 jam yang ku habiskan sepulang ngantor bisa ku pakai untuk melakukan hobiku, olah raga, bikin scrap, menggambar, belajar hal baru, dan lain-lain. Do something and be productive seperti yang selalu digembar gemborkan oleh sebagian diriku yang geregetan ngeliat jempolku tak henti-hentinya menscroll feed Instagram. LOL.
"Do you tell yourself that you wish you have more time to read? To hit the gym? To take your sister to lunch? Replace your daily dose of social media scrolling with those activities, and trust me you'll feel more productive and feel much happier by the day. Better yet, challenge yourself to put the phone away when you're dinning out with your loved ones." Nicoline Patricia Malina.
Hahaha kalau aku malah main handphone buat main AoV :p
ReplyDeletemain instagramnya aku ga sampe segitunya sih..habis isi instagram tuh uda ga seru2 amat...sering banyak iklan...jadi lebih pengen mainan AoV daripada main Instagram hehehe
makanya kadang emang butuh bikin spare waktu tersendiri gitu ya Mei biar ga sampe kebablasan....hihihi