Cerpen: Ballīte
Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Suara detik jarum jam
terdengar jelas di telingaku.
Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Saat ini aku sedang berada di tengah-tengah
pesta. Hiruk pikuk terdengar di seluruh ruangan, lagu-lagu bergenre blues mengalun silih berganti selama beberapa jam terakhir. Orang-orang yang ku sebut teman terlihat
sedang tertawa, bercanda menari, minum-minum. Terlihat sangat menikmati pesta
yang menurutku konyol. Aku duduk saja di sofa, sama tidak tertarik untuk bergabung
dengan orang-orang konyol di pesta konyol walau sebenarnya sudah hampir dua jam aku berada di tengah-tengah hiruk pikuk ini.
Aku suka pesta, sekaligus
tidak suka pesta.
Mungkin penyataanku ini merupakan salah satu bentuk
pernyataan ambiguitas. Biar ku jelaskan agar kalian mengerti. Aku tidak suka
pesta karena biasanya pesta dipenuhi oleh orang-orang konyol yang penuh dengan
tipu muslihat dan kepalsuan. Para pria memakai jas, bersolek agar terlihat rupawan, lalu menggoda
para wanita. Para wanita pun memakai baju-baju bagus dan menata wajah agar
terlihat cantik. Tapi, selain memakai pakaian bagus, orang-orang konyol itu
juga biasanya memakai topeng yang ku sebut dengan topeng. Kata-kata
manis dan senyum palsu pasti mereka lontarkan saat datang ke pesta. Alih-alih
berbicara dengan terus terang, mulut mereka terus bercerita dengan sombong
sementara otak mereka mengolah informasi penuh tipu muslihat. Mungkin kalian
akan menilaiku sebagai seorang stereotip sok tahu. Yah, boleh saja. Terserah
kalian mau menganggapku bagaimana. Toh, aku hanya menyampaikan apa yang ku
lihat.
Disisi lain, aku juga
menyukai pesta, karena mengamati orang-orang yang saling melemparkan kepalsuan
terkadang bisa menjadi hal menarik
bagiku. Bentuk penghiburan diri yang aneh memang.
Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Detik jarum jam terus
terdengar di telingaku, waktu tidak pernah berhenti. Ya, waktu tidak pernah mau
berhenti, tapi orang-orang konyol itu tetap tidak peduli. Tetap saja mereka
membuang-buang waktu untuk saling menujukkan kepalsuan. Kasihan.
“Hei, James! Sini, kita minum!” Seorang kenalanku melambaikan tangannya dari meja bar.
“James. Ayo, kita berdansa!” Seorang wanita berusaha menarik diriku bangkit dari sofa menuju lantai dansa.
Ku tolak ajakan mereka
dengan senyum manisku. Senyum manis apanya? Raut wajahku jelas-jelas
menunjukkan bahwa aku ingin segera membawa pantatku pergi dari tempat
menyebalkan ini. Huh..
Orang-orang konyol ini
menarik sekaligus membosankan. Kalau bukan karena ‘teman baik’ku yang
menyeretku ke sini, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu duduk-duduk di
pinggir kota yang sepi. Melihat kota pada malam hari jauh lebih menyenangkan
daripada memerhatikan orang-orang koyol ini.
Lalu, ke mana ‘teman
baik’ku itu? Ah, dia tengah asik menggoda beberapa wanita di pojok ruangan.
Terserahlah.
Ku betulkan posisi
dudukku, menopang sebelah kaki. Mencoba mencari posisi senyaman mungkin
sementara mataku berkeliling seluruh ruangan, kembali memerhatikan orang-orang.
Beberapa orang asik
mengotak-atik piringan hitam.
Beberapa orang
bercengkerama dan tertawa sok polos.
Beberapa orang menari
dan berdansa.
Seorang wanita duduk di
sofa, tak jauh dari tempat dudukku. Terlihat mabuk, namun ia tetap menenggak wine di gelas yang ia pegang.
Aku mendesah pelan
sambil kembali kembali memperhatikan orang-orang di ruangan yang sebenarnya tidak terlalu besar itu. Sampai mataku menangkap sosok lain. Sosok seorang
wanita yang tengah berdiri di ambang pintu. Gadis itu berdiri dengan anggun, bergeming, memperhatikan
orang-orang dengan tatapan yang sulit ditebak. Di situlah mataku tertuju.
Terpaku pada sosok wanita yang sepertinya baru datang itu. Rambutnya panjang
hitam berkilau dan kulitnya putih. Wanita itu memakai blus warna biru. Terlihat
cantik di mataku. Cukup lama aku memerhatikannya dan sepertinya wanita itu tahu
karena ia pun menatap ke arahku.
Mata kami bertemu. Seulas senyum terukir di
wajahnya. Ku lakukan juga hal yang sama.
“James. Ayo, temani aku
minum.” Seorang wanita lain duduk di sampingku. Bau alkohol jelas sekali
tercium dari tubuhnya. Dengan seenaknya, wanita itu menyandarkan kepalanya
padaku. Sudah mabuk tapi masih mau minum, dasar tidak tahu diri.
Aku tidak mengindahkan ajakan wanita itu. Aku lebih memilih untuk
mengalihkan pandanganku lagi ke wanita dengan blus biru. Namun, begitu aku menoleh, sosok wanita dengan blus
biru sudah tidak ada. Mataku mencari ke sekeliling ruangan, tapi sosok yang ku
cari tidak ku temukan.
“James.. James..”
Wanita di sampingku terus menyebut-nyebut nama itu.
Tidak tahan lagi, akhirnya
aku bangkit berdiri. “Namaku Jammie!” kataku setengah berteriak. Tak peduli
akan tatapan orang-orang yang menghentikan aktivitasnya karena mendengar
teriakanku. Ku langkahkan kakiku, bergegas pergi mencari wanita dengan blus
biru.
Selamat tinggal
orang-orang konyol. Silahkan kembali menikmati kekonyolan kalian. Aku sudah
menemukan hidupku.
.
.
.
.
.
.
.
Sebuah cerpen.
Nb (1): Cerpen ini pernah ku ikut sertakan dalam lomba, tapi gak menang karena memang banyak sekali orang-orang yang lebih piawai menulis. Bukan maksudku merendahkan diri atau apa, aku senang. Tujuanku memang hanya mengikut sertakan cerpenku ke lomba. Kalau menang berarti bonus, kalau gak menang berarti aku masih harus lebih banyak lagi menulis. :)
Nb (2): Ballīte, bahasa Latvi. Artinya pesta..
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletekonfliknya kurang terasa mei...kukira masih ada lanjutannya...apa emang ada lanjutannya?hahaha
ReplyDeleteiya ya, pik.. pas aku baca ulang juga kok rasanya kayak kurang bumbu gitu.. hehe..
Deleteengga, sih.. segitu aja.. wkwk
Iya kaaan haha
DeleteKaya masi ada lanjutannya gitu loh hehe
Klimaksnya kurang dapet #sosoanngerti hahaha 😂