Naik-Naik Ke Puncak Gunung - Part 1
Hai..
Akhir-akhir ini, rasa malas benar-benar menjalari tubuhku. Menggelayut tak mau pergi. Beberapa hari (atau beberapa minggu) gak kasih posting bukan karena gak ada ide, hanya saja malas.. hehehe..
Jadi, sebelum rasa malas kembali mendarah daging, mari ngeblog lagi. Cekidot..
Ceritanya, tempo hari aku naik gunung. Wew~ sebenernya, gak ada yang istimewa dari judulnya. Naik gunung. It's not so WOW..
But, lemme tell you something, about myself..
Kalo bisa diibaratkan, seorang Meiliana ini ibarat anak kecil yang lebih suka bermain di dalam rumah. Pakai AC, lantai bersih, selimutan. Seorang Meiliana senang melihat dunia luar, tapi melihatnya dari balik kaca saja. Tanpa pernah benar-benar mau melangkah keluar. "Kalau ada tempat yang nyaman, untuk apa aku keluar?" Begitulah pikiranku, selama ini.
See?? Jadi pengalamanku naik gunung kali ini layak untuk diangkat menjadi sebuah cerita. It's my first time. Pengalaman pertamaku naik gunung.
Aku melakukan pendakian ke Gunung Gede awal September kemarin. Aku pergi bersama adikku yang super duper rempong, dan 5 orang temannya yang cerewet, autis, petakilan, dst, dst.
Perjalanan dimulai dengan bis dilanjut angkot ke arah Puncak, sampai di sana tengah malam. Kami ngaso dulu di sebuah warung yang ternyata merupakan basecamp untuk orang-orang yang hendak mendaki. Warung Mang Idi namanya. Pemiliknya, Mang Idi, adalah seorang pria tua berperawakan kurus kecil dengan banyak sekali garis-garis keriput menghiasi wajahnya.
Mang Idi menyambut kami dengan ramah. Senyumnya selalu mengembang dan walaupun sudah tua, matanya masih memancarkan semangat anak muda.
Kami singgah di sana sekitar 5 jam. Makan nasi goreng tengah malam, lalu tidur di sebuah ruangan berkarpet. Well, bisa dibilang tidurku tidak begitu nyenyak karena hawa dingin benar-benar menusuk malam itu. Sekitar jam 4 atau setengah 5, kuputuskan untuk bangun dan keluar menantikan fajar.
Langit masih berwarna hitam pekat, lalu kutengadahkan kepalaku. Dan di sanalah ku lihat mereka. Para bintang yang benar-benar tidak pernah ku lihat di antara gemerlap malam Ibu Kota.
Otomatis, senyumku merekah. "Hai, Bintang. Long time no see." Lalu, aku tidak berkata lagi. Ku nikmati saja keheningan di antara kami. Sebelum akhirnya mentari mulai menunjukkan sinarnya.
Fajar pun tak mau kalah. Sang mentari bangun secara perlahan. Menampilkan warna yang sebelumnya tidak pernah kulihat.
Wah, ini belum mendaki tapi aku sudah dibuat terperangah oleh pesona alam.
Setelah matahari menunjukkan diri sepenuhnya, barulah kami melanjutkan perjalanan. Sebelum mulai mendaki, kami harus membeli tiket dan melewati serentetan pengecekan. Kami cus dari basecamp sekitar jam 6, namun ternyata tempat pembelian tiketnya baru buka jam 9. Jeng.. Jeng..
Jadinya, kami bertujuh kembali ngaso di sana. Ada yang tidur lagi, ada yang ngemil-ngemil, ada yang lari sana lari sini, bercanda tertawa sampai jam 9.
Setelah jam 9an, salah satu dari kami antri tiket. Setelah tiket didapat, kami harus melewati serentetan pemeriksaan. Periksa barang-barang. Actually, gak ada penggeledahan tas seperti yang kubayangkan sebelumnya. Lebih ke arah kejujuran kami. "Bawa benda tajam? Pakai sepatu semua?"
Oh, FYI. Kalian-kalian yang mau naik gunung atau pertama kali naik gunung, mending pakai sepatu. Apalagi kalau mendakinya ke gunung-gunung yang penuh bebatuan. Kemarin aku pakai sepatu sendal, lalu belum apa-apa kakiku sudah lecet kena batu.. hahahahahaha..
Sekitar jam 11 kami baru benar-benar bisa mendaki. Dari 7 orang -3 orang cowok, dan 4 orang cewek- kami bagi menjadi 2 tim. 2 cowok berangkat duluan, mereka yang paling cepat jalannya dan yang paling kuat staminanya di antara kami, untuk booking tempat dan bangun tenda.
Sisanya, 4 cewek dan 1 cowok, jalan santai namun ngos-ngosan. Terutama aku, yang baru pertama kali naik gunung.
Komentarku begitu naik adalah, "waaah....."
Kalian pernah main game temple run?? Begitulah track Gunung Gede. Ini serius. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah batu dengan pepohonan di samping kiri dan kanan. Ada juga sungai dan pohon-pohon tumbang. Dan semakin ke atas, semakin curam juga track nya.
1 jam pertama masih oke. Setiap 10 menit sekali istirahat. Lama-lama, selang 5 menit sekali istirahat. 2 jam, 3 jam belum ada tanda-tanda kalau udah mau sampai. Berlanjut ke jam-jam berikutnya, sampai akhirnya hujan mengguyur.
Wew~ saat itu kami termasuk panik. Pertama-tama tebar flysheet. Entah siapa yang ide banget nebar flysheet di tengah jalan bebatuan yang curam. Rempong. Baru akhirnya pakai ponco yang ternyata jumlahnya gak memadai. Option terakhir, berteduh dulu sampai hujan reda.
Kami berteduh bersama rombongan pendaki lain. Tidak seperti kami yang hanya berdiam diri menunggu langit berhenti menangis, mereka berteduh sambil mengisi perut. Tidak ada yang salah kalau berteduh sambil mengisi perut, hanya saja cara mereka sedikit membuatku kaget.
Masak mie, nyeduh kopi, lalu ngerokok. Setelah makan dan minum dengan peralatan plastik (botol plastik, plastik ciki, dst, dst), sampah yang juga berupa plastik itu mereka bakar.
Wew~ bakar sampah di gunung. Aku gak tau kalau hal semacam itu diperbolehkan.
Selama mendaki, aku dan teman-temanku tentu ngemil-ngemil, tapi sampah makanan kami kumpulkan dalam satu kantong plastik yang masih kami bawa-bawa sampai atas dan akan kami buang begitu kami turun.
Yah, bagi yang membaca tulisanku ini, harap jangan bakar-bakar sampah di gunung, ya. Karena bukan pecinta alam namanya kalau di gunung saja masih menimbulkan polusi.
Okeh, lanjut lagi ceritanya. Setelah setengah jam dan hujan sudah mulai reda, kami kembali melanjutkan perjalanan. Track bebatuan yang semakin curam, lalu licin karena hujan semakin memperparah stamina kami, staminaku terutama.
Temanku berusaha memberi semangat, "ayo, dikit lagi sampe, kok!" Dengan bermodalkan napas senin-kamis, akhirnya kami sampai juga setelah sekian puluh menit berlalu.
Eits.. sampainya bukan sampai puncak. Sampai ke suatu tempat yang cukup luas untuk dibuatkan tenda. Yang ku tahu, tempat itu berada 1 jam sebelum sumber air panas. 2 temanku yang jalan duluan terpaksa membangun tenda di sana karena hari sudah sore dan tidak memungkinkan untuk terus mendaki. Agak kecewa juga sebenarnya karena gak sampai puncak. Tapi, keinginanku ternyata terlalu muluk karena katanya kami harus melewati tanjakan berbatu yang lebih terjal, yang sampingnya jurang untuk bisa sampai ke atas.
Kalau begitu ceritanya, aku hanya bisa menghela napas. Anggap saja ini sebagai permulaan.
Setelah itu, kami bebenah tenda yang ternyata masih porak poranda disertai hujan yang kembali mengguyur. Dengan susah payah, akhirnya tenda yang layak untuk ditiduri selesai dibangun.
Dan betapa panjang cerita ini walau belum selesai.
Dilanjut nanti, ya..
Penasaran? Engga?? Ah, anggap aja penasaran supaya kalian baca postinganku part 2. LOL.
Mana mei part 2 - nya? Hahaha
ReplyDeleteitu di dekat warung emang tempat penginapan gt ya? Emang sengaja buat para pendaki tidur gt?
Btw selama melakukan pendakian gunung ga mandi dong ya? *pertanyaan bodoh* :p
Part 2 nya? Kapan-kapanlah, ya.. :p
DeleteWarungnya sekaligus penginapan, pik. Letaknya beberapa KM sebelum jalur mendaki, macem basecamp gitu bisa numpang makan, numpang charge, numpang tidur.
Iya, gak mandi.. Hiks.. Abis turun gunung udah gak ngerti lagi lancainya gimana.. X'D